1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Saintis: Rasa Jijik Mengontrol Manusia

23 September 2013

Valerie Curtis terpesona oleh tinja. Juga muntah, nanah, urin, belatung dan daging busuk. Sesuatu yang membuka jalan bagi dia untuk menemukan fakta-fakta ilmiah yang membuka misteri tentang “rasa jijik“ manusia.

https://p.dw.com/p/19mQa
Foto: vladgrin - Fotolia.com

Doktor antropologi dan kesehatan dan perilaku manusia mengatakan bahwa rasa jijik mengatur hidup kita – mendikte apa yang kita makan, pakai, beli dan bahkan bagaimana kita memilih dan siapa yang kita inginkan.

Dalam sains, jijik yang selama ini tidak dipelajari – disebut sebagai “psikiatri emosi yang terlupakan“. Sementara di sisi lainnya emosi seperti rasa takut, cinta dan kemarahan menjadi pusat perhatian para ilmuwan.

Tapi Curtis, yang merujuk kepada dirinya sambil setengah bercanda sebagai “ahli jijik”, termasuk diantara sekelompok saintis yang semakin berkembang jumlahnya, yang ingin mengubah kelaziman itu dengan menegaskan pentingnya ilmu tentang rasa jijik dalam segala hal, mulai dari sex dan masyarakat hingga kelangsungan hidup manusia.

“Orang jijik dengan sesuatu tanpa menyadarinya. Itu mempengaruhi hidup kita dalam begitu banyak cara yang halus, dan sangat penting bahwa kita memahami betapa luar biasanya pengaruh itu,“ kata dia.

Teori penghindaran parasit

Ketertarikan Curtis yang memberontak dari arus besar, berasal dari lamanya ia bekerja di sektor kesehatan masyarakat, yang berusaha meningkatkan kebersihan dan mengurangi kematian yang tidak perlu serta penyakit di seluruh dunia.

Sebagai direktur di London School of Hygiene and Tropical Medicine yang dihormati, ia memperkenalkan penelitian tentang perilaku kebersihan di Bangladesh, Burkina Faso, Cina, India, Uganda, Vietnam, Indonesia dan Kyrgyzstan.

Pada tahun 2002, ia mendirikan lembaga kemitraan publik dan swasta yang melibatkan badan anak-anak dunia UNICEF, Bank Dunia dan produsen rumah tangga multinasional Procter & Gamble yang mempromosikan kebiasaan mencuci tangan.

”Saya telah mencoba memahami jijik selama 30 tahun, dan apa yang saya temukan bahwa orang-orang di seluruh dunia jijik pada hal yang sama: zat yang keluar dari tubuh, makanan basi, cairan seksual – yang, dengan sejumlah pengecualian, kita tak ingin berbagi dengan orang lain – prilaku buruk dan tingkah laku tidak bermoral,” kata dia.

Dalam buku yang dipublilkasikan bulan ini berjudul "Don't Look, Don't Touch", Curtis berargumen bahwa rasa jijik atas pemerkosaan dan jijik atas kotoran anjing pada awalnya kelihatan berbeda, tapi sesungguhnya mereka mempunyai akar sama dalam apa yang ia sebut sebagai “teori penghindaran parasit” dari rasa jijik atau disingkat PAT.

Ia melihat jijik dalam perspektif evolusi, dan berargumen bahwa yang paling dimuaki oleh nenek moyang adalah penyakit, cacat dan kematian – dan itu membuat mereka hidup lebih lama, lebih banyak punya hubungan dan menghasilkan keturunan dengan rasa “kesehatan yang lebih gampang jijik”.

Curtis membandingkan respon jijik dengan rasa takut yang memicu kita lari atau melawan respon – yang membuat kita secara insting menjauh atau menghindari hal-hal yang mungkin akan memangsa kita.

”Bahkan yang lebih penting bagi evolusi kita adalah penyakit,” kata dia. ”Penyakit adalah sesuatu yang akan memakan kita dari dalam – dan hal penting adalah bahwa rasa jijik akan menjauhkan anda dari itu (penyakit-red).”

“Jijik adalah sebuah organ – seperti mata dan telinga. Itu punya kegunaan, itu eksis untuk sebuah alasan,” kata dia menambahkan. ”Seperti kaki yang membuat anda bergerak dari A ke B, rasa jijik mengatakan kepada anda hal-hal apa yang aman untuk disentuh dan mana yang seharusnya tidak boleh disentuh.”

Mikroba untuk Moralitas

Menghindari kotoran dan penyakit juga mengharuskan kita untuk saling menjauh, pada batas tertentu, kata Curtis, yang mana kemuakan itu juga mendorong orang untuk bertingkah laku sesuai yang bisa diterima masyarakat.

“Setiap kali kita kontak dengan orang lain kita melakukan semacam tarian jijik – di mana kita ingin mendekat dengan seseorang dan punya interaksi sosial dengan mereka, tapi pada saat bersamaan kita juga menjadi yangat berhati-hati agar tidak membuat mereka jijik.”

Dan juga, ia berargumen, hal itu menyebabkan evolusi sopan santun dan perilaku sosial.

“Rasa jijik, anda mulai dengan mikroba, terus berlanjut ke sopan santun dan kemudian ke moralitas,“ kata dia. “Emosilah yang mengajarkan kepada anda tentang bagaimana harus bertingkah laku. Itu membantu membangun kerangka moral masyarakat.“

Mencakup segala hal, menurut Curtis, yang membuat jijik begitu menarik – dan membuat ilmuwan belakangan menjadi tertarik menelitinya.

Padahal sepuluh tahun lalu, hanya ada segelintir makalah penelitian tentang rasa jijik atau muak yang diterbitkan di jurnal ilmiah. Tapi kini ada begitu banyak literatur ilmiah yang secara khusus menelitinya.

“Ini benar-benar sekarang sedikit menjadi mainan bagi para saintis,” kata Curtis.

Di laboratorium, dia menambahkan, di mana para saintis berusaha mengamati dan menyelidiki penyebab dan efek emosi manusia: sesuatu yang sulit dan berbahaya untuk menghasilkan rasa takut yang nyata, dan hampir mustahil untuk menghasilkan cinta sejati. Tapi rasa jijik atau muak lebih bisa diciptakan.

“Jijik menjadi menarik karena itu adalah sebuah model emosi,“ kata dia. “Itu memberitahu kita banyak hal tentang bagaimana segala emosi bekerja.“

ab/as (rtr,afp,ap)