1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tuntutan Cantik ala Medsos

17 April 2017

Berani tampilkan foto di media sosial tanpa dandan, tanpa diedit atau tanpa filter? Banyak aplikasi untuk mengubah wajah di smartphone. Haruskah gunakan itu sebelum memajang foto di medsos? Berikut opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2bLkS
Selfie Frau
Foto: Colourbox

Menjadi perempuan sungguh sulit di dunia patriarki yang tak juga beres meminggirkan perempuan. Beragam tuntutan yang mengada-ada disematkan ke bahu perempuan. Perempuan diharapkan tampil cantik, pintar namun rendah hati, memiliki karier cemerlang tapi tetap peka menjaga perasaan laki-laki agar tak merasa terintimidasi, terampil dalam kerja-kerja domestik, dan bergairah melayani kebutuhan seks pasangan. Akibatnya, perempuan mematok standar tinggi untuk dirinya sendiri, dan tertekan ketika ia merasa tak memenuhi kriteria ideal tersebut.

Yang menyedihkan, hasrat untuk sempurna ini sudah melanda perempuan bahkan ketika mereka masih kanak-kanak. Menurut studi yang dilakukan Girlguiding UK, mayoritas anak perempuan berusia 7 hingga 10 tahun memiliki kebutuhan untuk sempurna. Mereka juga merasa perempuan dinilai dari kecantikan fisik. Studi lain dari Amerika Serikat yang diterbitkan oleh Journal of Occupational and Organizational Psychology menyebutkan bahwa perempuan merasa mereka tidak memenuhi standar tinggi dalam urusan pekerjaan dan keluarga. Intinya, perempuan menyasar target untuk cantik dan sempurna hampir di setiap aspek hidupnya.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Privat

Hasrat untuk sempurna ini juga merambat hingga ke dunia maya. Belum lepas dari tekanan menjadi sempurna di wilayah kehidupan nyata yang menyangkut urusan pekerjaan dan domestik, perempuan pun kini bertambah beban untuk memiliki online persona yang sempurna. Tampil cantik tak hanya saat kencan atau berangkat kerja, tapi perlu juga cantik nyaris sempurna di Facebook atau Instagram. Seorang teman bahkan mengaku tak mau memasang foto tanpa editan di akun media sosial. "Ya, minimal pakai filter yang bikin wajah cerah dan mulus, deh. Kalau lagi niat banget sih, sekalian dibikin kurus, plus ditambahin make up pakai aplikasi MakeupPlus dan sejenisnya.”

Isi akun media sosial seseorang dianggap sebagai refleksi kehidupan sang pemilik. Bila isinya indah, cantik, dan sentosa, orang lain pun menganggap si empunya akun menjalani hidup yang dahsyat. Dan kalaupun tak bisa berkompetisi menampilkan foto-foto seru sedang traveling di Eropa, paling tidak penampilan di medsos harus cantik dan memikat meski cuma saat menyeruput teh. Pemilik akun media sosial berlomba-lomba menampilkan foto-foto terbaik, tak hanya demi respon ‘like' atau ‘love' dari rekan pengguna media sosial lainnya, tapi karena sepertinya terlihat jelek di dunia maya tak bisa diterima.

Cantik di dunia maya menjadi kebutuhan sehari-hari bagi kaum perempuan. Dengan smartphone yang selalu di tangan, setiap perempuan sepertinya harus selalu photo-ready dalam berbagai kesempatan, bahkan untuk hal paling remeh. Semua aktivitas didokumentasikan untuk keperluan konten medsos. Sedang makan siang di warung? Foto dulu, ah. Ngopi di kedai kopi seberang kantor? Jangan lupa selfie. Baru beli lipstick Kylie Jenner? Tak mungkin, dong, tak posting bibir merekah di Instagram.

Kerepotan mengkurasi foto diri untuk kebutuhan medsos ini belum termasuk foto grup. Seorang teman dengan tegas mensyaratkan untuk memastikan lebih dulu apakah foto grup yang akan dipasang layak untuk tampil di medsos. Kalau salah seorang terlihat tak cantik, ia menuntut foto ulang berkali-kali. Kalau masih juga gagal? Lebih baik jangan diunggah di medsos. "Ih ini sih nggak Facebook-worthy, ah. Jangan diposting, yaah.. Awas lho!” Jangan juga berani menciderai kepercayaan tersebut, bisa-bisa pertemanan jadi terganggu, bahkan berakhir dengan permusuhan.

Setiap perempuan itu selebriti

Dalam dunia medsos yang cair, setiap perempuan seakan menjadi selebriti. Tak berlebihan, karena sifat medsos yang umumnya terbuka gampang mengundang beragam komentar dan penghakiman. Akibatnya, perempuan-perempuan biasa yang bukan selebritas pun menghadapi tekanan untuk selalu tampil sempurna seperti figur publik sekelas Dian Sastro. Ada rasa was-was jangan-jangan nanti tak sengaja berpapasan dengan kawan saat sedang berpakaian asal-asalan, alis kurang tebal dan agak tak simetris, eh malah diajak berfoto bersama. Saking ngototnya untuk tampil cantik di medsos, bahkan ada juga yang memakai make-up saat sedang berolahraga di gym atau sedang lari 10K. Kok repot? "Lho, nanti kalau difoto terus diposting di Facebook nggak kelihatan cantik ya rugi, dong. Sudah capek-capek lari masak fotonya nggak hits sih.” Menyedihkan, karena tak jarang esensi sebuah aktivitas dikalahkan oleh hasrat tampil keren di medsos.

Keinginan untuk tampil cantik tentu bisa dimaklumi. Lagipula foto yang bagus toh memang menyenangkan untuk dilihat. Namun pada titik tertentu tekanan ini juga melelahkan dan menambah beban yang tak perlu. Seperti tampilan model di majalah perempuan atau televisi, sesungguhnya kita tahu dan sadar bahwa ada banyak ‘tipuan' untuk membuat seseorang terlihat sempurna. Kekuatan make up, misalnya, bisa mengubah wajah hingga tak dikenali. Angle foto pun turut membuat sebuah foto menjadi lebih menarik. Belum lagi ditambah teknologi digital yang bisa menciptakan imaji dahsyat sesuai keinginan. Kesempurnaan adalah milik Photoshop, bukan sesuatu yang nyata. Jadi lain kali ketika sedang hiking ke air terjun Maribaya, Lembang, bersama teman-teman dan foto bersama, cobalah saran sederhana ini: daripada menghabiskan waktu bolak-balik foto demi hasil seindah iklan sabun hingga lupa menikmati suasana, lebih baik nikmati saja segarnya udara pegunungan dan keriaan bersama teman-teman. Because, there's more to life than looking pretty on Instagram.

Uly Siregar

Penulis:

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.