1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimur Tengah

75 Tahun Israel: Dari Mimpi Hingga Masa Kini yang Terkoyak

Lisa Hänel
25 April 2023

Negara modern Israel didirikan 75 tahun yang lalu. Sebuah negara dengan kisah sukses dan penyelamatan bagi banyak orang. Tapi tahun ini peringatannya lebih politis dari sebelumnya.

https://p.dw.com/p/4QW1u
75 tahun Israel
Gambar demonstrasi di IsraelFoto: Eyal Warshavsky/SOPA Images via ZUMA Press Wire/picture alliance

Secara tradisional, peringatan berdirinya negara Israel dimulai dengan penyalaan dua belas obor di Gunung Herzl di Yerusalem. Obor-obor ini melambangkan 12 suku yang membentuk bangsa Israel, sebagaimana dikisahkan dalam Alkitab. Tahun ini, perayaannya dibayangi oleh aksi protes ratusan ribu warga Israel yang menentang rencana ‘reformasi hukum‘ dari pemerintah, yang akan mengubah sistem hukum dan sistem peradilan di negara itu, sehingga memungkinkan pemerintah berkuasa atas lembaga yudikatif. Ini adalah salah satu krisis terbesar dalam sejarah negara itu.

Israel dulunya juga lahir di tengah krisis. Ketika David Ben-Gurion memproklamirkan Negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948, penduduk Yahudi di tanah suci itu sudah berbulan-bulan terlibat dalam perang saudara dengan tetangga Arab mereka .

Banyak orang Yahudi di seluruh dunia merasakan proklamasi negara mereka, tiga tahun setelah holokaus - sebagai bentuk penyelamatan. "Tahun 1948 sangat erat kaitannya dengan tahun 1945. Jadi itu berarti di satu sisi berakhirnya Yudaisme di Eropa, yang sangat jelas ditandai dengan ikon waktu 1945, dan tiga tahun kemudian berdirinya Negara Israel, boleh dikatakan sebagai penyelamatan dari  pemusnahan itu," ujar sosiolog Israel Natan Sznaider kepada DW. "Ini laksana sebuah kebangkitan. Saya rasa itu adalah narasi, yang tidak hanya didukung secara resmi, tetapi juga didukung oleh sebagian besar orang Israel - dengan kata lain, pendirian negara adalah sebuah tindakan pembebasan yang hampir bersifat teologis."

Enam juta orang Yahudi dibunuh secara brutal dalam holokaus oleh NAZI Jerman: dijejalkan ke dalam ghetto, mati kelaparan, ditembaki, dibunuh di kamp-kamp konsentrasi Jerman dan dimusnahkan: genosida yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kejahatan yang sampai sekarang tak terbayangkan, yang juga membuka jendela waktu sejarah yang mungkin terbilang unik. Pada tahun 1947, Majelis Umum PBB memutuskan – dengan 13 suara menentang – rencana partisi Palestina, yang hingga saat itu masih menjadi mandat Inggris. Ini dimaksudkan untuk pembentukan sebuah negara Yahudi dan sebuah negara Arab. Yerusalem akan berada di bawah pengawasan sebuah rezim internasional khusus. Pihak Arab menolak, tetapi perwakilan Yahudi setuju. Selanjutnya, pecah perang saudara, dengan kekerasan dilakukan di kedua belah pihak.

Utopia negara yang terbagi

Meskipun holokaus adalah momen yang menentukan, gagasan tentang "rumah" Yahudi jauh lebih lawas. Tokoh paling terkenal dari gagasan Zionis adalah Theodor Herzl. Pada tahun 1896, di bawah tekanan anti-Semitisme yang meningkat, terutama di Prancis, Herzl menulis buku "Der Judenstaat" dan di dalamnya ia juga mengabdikan dirinya pada ide-ide yang sangat praktis untuk mendirikan sebuah negara.

Pada awalnya, Herzl juga menjajaki kemungkinan alternatif untuk Palestina, tetapi perwakilan lain dari gerakan Zionis sejak awal memberontak melawan ide ini. Mereka mengingatkan hubungan ribuan tahun orang-orang Yahudi dengan Eretz Israel, Tanah Perjanjian Alkitab. Di Yerusalem berdiri Kuil Yahudi – pusat Yudaisme kuno – hingga kuilnya dihancurkan oleh bangsa Romawi. "Orang-orang Yahudi, dalam pandangan Zionis, pertama dan terutama adalah orang, bangsa, bukan agama, dan dengan demikian, seperti bangsa lain, berhak atas tanah air dan kedaulatan negara mereka," kata sejarawan Michael Brenner, yang merupakan direktur Center for Israel.

Zionis mencapai terobosan diplomatik pada tahun 1917 dengan Deklarasi Balfour, di mana Inggris berjanji akan memfasilitasi sebuah "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina". Inggris juga memberikan harapan kepada orang Arab di Palestina untuk mendirikan negara mereka sendiri dan, sebagai mandat kekuasaan, yang pada akhirnya berkontribusi pada ketegangan di wilayah tersebut. Gelombang besar migrasi Yahudi susul-menyusul datang ke wilayah mandat Palestina, di mana hal itu seringkali merupakan reaksi atas persekusi berlatar belakang antisemit di Eropa. Pada tahun 1909, Kota Tel Aviv didirikan di pantai Laut Mediterania. Inggris berulang kali mencoba menghentikan arus migrasi, bahkan saat situasi darurat ketika Nazi merebut kekuasaan di Jerman.

Satu negara, dua bangsa

Sejak awal 1920-an telah terjadi bentrokan sengit antara Yahudi dan Arab di kawasan mandat Palestina, misalnya di Jaffa dan Yerusalem. "Masalah mendasarnya adalah, tentu saja, dua pihak memiliki klaim atas negara yang sama dan keduanya memiliki alasan historis atas klaim ini," kata sejarawan Brenner.

Setelah proklamasi Negara Israel, lima negara Arab menyatakan perang terhadap negara muda tersebut. Israel menang perang dan merebut sekitar 40 persen tanah yang dialokasikan untuk Palestina oleh PBB. Akibat perang, tetapi juga sudah mulai terjadi sebelumnya, sekitar 700.000 warga Palestina diusir dan melarikan diri, yang dikenal sebagai Nakba atau malapetaka.

Pada tahun 1967, perang lain mengubah perimbangan kekuatan: sejak saat itu, Israel menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan memblokir sebagian besar Jalur Gaza. Israel dikritik secara internasional, karena politik pendudukannya. Banyak pemerintahan, termasuk Jerman, menganggap permukiman Israel di wilayah pendudukan sebagai pelanggaran hukum internasional.

Pada 1980-an, muncul generasi yang memantapkan diri di Israel, yang disebut "sejarawan baru" yang dikatakan Brenner: "mempertanyakan gagasan yang seringkali kebal terhadap kritik atau oposisi, kebenaran dasar, yang telah membentuk Israel secara resmi." Dalam hal ini mereka membahas tema,  konsekuensi berdirinya negara bagi warga Palestina – yang hingga hari ini menjadi topik yang sensitif dan sering diabaikan di Israel.

Kembali ke gagasan awal

"Tahun ini mungkin akan menjadi hari kemerdekaan paling politis dalam sejarah Israel," kata sosiolog Sznaider. Ratusan ribu orang telah turun ke jalan di Israel selama berminggu-minggu untuk berdemonstrasi menentang rencana restrukturisasi peradilan. Rencana itu masih ditangguhkan hingga saat ini, tetapi aksi protes tidak kunjung berhenti.

Para demonstran saat ini sedang mempertimbangkan untuk mengadakan upacara obor di Tel Aviv sebagai alternatif dari upacara di Yerusalem. Itu sebagai tanda bahwa mereka tidak merasa terwakili oleh pemerintah sayap kanan saat ini,dan bertujuan untuk membentuk masa depan yang berbeda bagi negara mereka.

"Akan ada dua hari kemerdekaan sekaligus," kata Sznaider. Ironisnya, kedua belah pihak melihat diri mereka dalam tradisi bapak dan ibu pendiri Israel. Selalu ada Zionis religius di antara Zionis. Pergerakan pemukim di wilayah pendudukan saat ini, juga dilihat sebagai tindak lanjut dari pemukiman negara pada tahun 1920-an. "Mereka mencoba menampilkan diri mereka sebagai semacam super-Zionis yang mencoba menuntaskan rencana gerakan Zionis sosial-demokratis yang awalnya sekuler, berhaluan kiri, dan sosial-demokratis," kata sejarawan Brenner.

Di pihak para demonstran, ada sesuatu dengan sangat berbeda. Setiap minggu, para demonstran secara sadar mengacu pada ide-ide pendirian negara dengan mengibarkan bendera dan menyerukan deklarasi kemerdekaan.

Mereka bersikeras pada asal-usul demokrasi Israel, sebuah negara bebas, negara hukum untuk semua warganya. Atau, seperti yang dikatakan sejarawan Tom Segev dalam wawancara di media Jerman, der Spiegel: "David Ben-Gurion mungkin akan marah dan kebingungan" jika dia melihat bagaimana masyarakat Israel saat ini.

Bagi sejarawan Michael Brenner, situasi aktual di Israel saat ini, kembali mencuatan ketegangan lama yang selalu ada dalam gerakan Zionis. "Saya bisa katakan, banyak perpecahan dalam masyarakat Israel yang sudah terjadi sejak awal, dan mungkin merupakan keajaiban kecil bahwa butuh 75 tahun bagi mereka untuk makin terpecah begitu tajam."

Di setiap aksi demonstrasi, para pengunjuk rasa menyanyikan Hatikva, lagu kebangsaan Israel. "Sebuah bait dari lagu kebangsaan Israel mengatakan, untuk menjadi orang bebas di negara Anda sendiri," kata Sznaider. "Saat ini, ada dua definisi berbeda tentang apa artinya: menjadi orang bebas di negeri sendiri." (ap/as)