1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Australia Kirim Menteri ke Kepunlauan Solomo, Ada Apa?

13 April 2022

Australia kirim seorang menteri kabinet ke Kepulauan Solomon, menyusul perjanjian keamanan antara negara Pasifik dan Cina. Barat khawatir Beijing dapat menggunakan pakta itu untuk membangun pangkalan militer.

https://p.dw.com/p/49snK
Pusat kota Honiara
Pusat kota Honiara merupakan lokasi kerusuhan pada November 2021Foto: Mavis Podokolo/AFP/Getty Images

Menteri Pembangunan Internasional Australia dan Pasifik Zed Seselja tiba di Kepulauan Solomon pada hari Rabu (13/04). Kedatangannya bertujuan meminta negara Pasifik itu agar tidak menandatangani perjanjian keamanan dengan Cina.

Kunjungan itu dilakukan di tengah kampanye pemilihan nasional di Australia, yang biasanya membuat para menteri cenderung menghindari keterlibatan diplomatik yang signifikan. Namun, oposisi Partai Buruh mendukung perjalanan itu meskipun kampanye sedang berlangsung.

Mengapa Australia khawatir?

Pejabat dari Cina dan Kepulauan Solomon belum secara resmi menandatangani pakta keamanan yang diklaim oleh Australia dan Amerika Serikat dapat mengancam stabilitas regional.

Seselja mengatakan, perjalanan selama dua hari tersebut akan "lebih memperkuat hubungan Australia dengan Kepulauan Solomon. "

"Diskusi saya akan mencakup usulan perjanjian keamanan Kepulauan Solomon-Cina," kata Seselja dalam sebuah pernyataan.

Washington dan Canberra telah lama memiliki kekhawatiran, terkait kemungkinan Beijing membangun pangkalan angkatan laut di Pasifik Selatan. Perkembangan seperti itu, akan memungkinkan Cina untuk memproyeksikan kekuatan angkatan lautnya lebih jauh daripada yang dapat dilakukannya saat ini.

Pada hari Selasa (12/04), sebuah memo yang bocor di media sosial menunjukkan, pemerintah Cina telah mengatakan kepada Kepulauan Solomon pada Desember 2021 bahwa mereka ingin mengirim tim keamanan ke pulau itu untuk melindungi kedutaannya, setelah pecahnya kerusuhan di ibu kota Honiara pada November lalu. Misi tersebut akan mencakup tim keamanan 10 polisi Cina yang dpersenjatai  senapan mesin dan senapan sniper, serta perangkat pendengar elektronik.

Mengonfirmasi memo yang bocor itu, Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare dalam sebuah pernyataan mengatakan, "tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Pejabat Cina dan Pulau Solomon dilaporkan telah menyetujui bagian final dari kesepakatan keamanan itu, meskipun dokumen tersebut belum dipublikasikan.

Rancangan yang dibocorkan terpisah menyebutkan, ada kemungkinan polisi bersenjata Tiongkok diijinkan dikerahkan atas permintaan Kepulauan Solomon untuk menjaga "ketertiban sosial." Langkah itu juga akan memungkinkan kapal angkatan laut Cina berlabuh di Honiara. Berdasarkan perjanjian tersebut, tidak ada pihak yang diizinkan untuk mengungkapkan misi secara terbuka tanpa persetujuan dari yang lain.

Mengapa terjadi kerusuhan di Kepulauan Salomon?

Kepulauan Solomon yang terletak di sebelah timur Papua Nugini, dengan populasi sekitar 700.000 orang, mengalihkan pengakuan diplomatiknya dari Taiwan ke Beijing pada 2019. Keputusan itu lantas ditolak oleh banyak orang dan dipandang sebagai faktor penyebab kerusuhan November 2021.

Di tengah kerusuhan, pengunjuk rasa mencoba menyerbu gedung parlemen dan mengamuk selama tiga hari, hingga membakar sebagian besar kawasan Pecinan di Honiara. Banyak pengunjuk rasa dilaporkan berasal dari provinsi Malaita, pulau tetangga yang memiliki sejarah perselisihan dengan provinsi Guadalcanal tempat pemerintahan resmi berada.

Penduduk pulau Malaita secara khusus menentang pengalihan pengakuan diplomatik terhadap Taiwan yang hanya diakui secara resmi oleh segelintir negara di dunia. Solomon memilih menjalin hubungan dengan Cina, karena dipaksa untuk memilih antara Beijing atau Taipei.

Lebih dari 200 pasukan penjaga perdamaian dikerahkan dari Australia, Fiji, Papua Nugini, dan Selandia Baru untuk memulihkan ketenangan.

PM Sogavare pada hari Selasa (12/04) mengatakan, Australia dan Selandia Baru akan tetap menjadi "mitra utama untuk dimintai bantuan di saat-saat kritis."

ha/as (AFP, Reuters)