1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cebong dan Kampret, Dualitas Politik Paripurna?

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
23 Maret 2019

Tak usahlah kita membela penguasa atau oposisi sampai-sampai mempermalukan akal sehat kita sendiri. Anda sependapat? Simak opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/3F961
Berthold Brecht spielt Schach um 1942
Foto: picture-alliance/akg-images

"Kebutaan paling mengenaskan,” ujar Bertolt Brecht, dramawan kondang, "ialah buta politik.”

Pernah mendengarnya di satu tempat? Boleh jadi. Kala pemilu menjelang, banyak yang biasanya kepincut mendadak dengan pernyataan Brecht tersebut. Ia menjadi mantra yang sekonyong-konyong saja menghinggapi linimasa media sosial Anda. Lebih-lebih kalau teman-teman Anda adalah negarawan, pemikir, mahasiswa teladan, atau caleg.

Mereka akan mewanti-wanti, seseorang yang buta politik tak bisa melihat apa pun, mendengar apa pun. Sang Insan buta politik ini, lanjut mereka mengutip Brecht, akan membanggakan keabaiannya terhadap politik. Bodohnya, semua kemalangan dalam kehidupan si Bebal, mulai dari melambungnya harga kebutuhan, merajalelanya korupsi, hingga dieksploitasinya lingkungan mereka oleh perusahaan multinasional, merebak akibat kebutaannya sendiri.

Tetapi, memang, pikiran Brecht ini bukan hanya berfaedah membuat para pengutipnya merasa keren sendiri. Ia juga masuk akal.

Penulis : Geger Riyanto
Penulis : Geger Riyanto Foto: Privat

Ada waktunya dalam sejarah Indonesia kala keengganan untuk berpartisipasi dalam roda politik nampak begitu memprihatinkan dan bertanggung jawab atas terpilihnya sosok-sosok culas serta berbahaya. Sederet kepala daerah yang dosanya melalap kekayaan negara untuk dirinya dan kroni-kroninya sudah menjadi rahasia umum—ehem, Ratu Atut—terpilih lagi dengan enteng. Mereka terpilih lewat kotak pemilihan yang tertutup dan pencoblosan yang tak diintip atau diintimidasi siapa-siapa.

Menteri yang mengobral izin pelepasan kawasan hutan dan mengancam kesinambungan ekologis banyak daerah? Kita juga punya. Dan partainya bahkan direstui pemilih dengan suara yang lebih berlimpah-limpah dari sebelumnya, rezim tak punya pilihan selain mengangkat kembali menteri dari partai yang punya catatan ini.

"Di mana akal sehat orang-orang? Di mana kewarasan politik mereka?” Anda mungkin bertanya-tanya.

"Ini dia mengapa kita tak boleh buta politik,” tanggap teman Anda yang mengutip Brecht. Mungkin seraya pula meminta Anda mencoblosnya di pemilu mendatang.

Namun, saya yakin, sekarang adalah momen yang paling tepat untuk memikirkan ulang kutipan Brecht tersebut. Beberapa tahun terakhir, mata orang-orang lebih terbuka dengan politik. Kesadaran mereka tumbuh subur ibarat cendawan di musim penghujan, berkembang biak bak jentik-jentik di musim kemarau. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 saja, jumlah orang yang tak menggunakan hak pilihnya 22,9 persen. Pada Pilkada 2012 padahal jumlah pemilih yang tak menggunakan haknya mencapai 32 persen.

Ada kenaikan sepuluh persen. Angka yang tak kecil mengingat jumlahnya meningkat hampir sejuta di Jakarta saja.

Belum lagi bila kita membuka media sosial, obrolan politik adalah obrolan pertama yang akan Anda jumpai. Anda buka percakapan di gawai kala baru bangun, lagi-lagi, kabar politik. Politik tidak perlu lagi Anda hampiri. Ia menghampiri Anda—memburu Anda lewat rekan-rekan Anda yang giat bercuap-cuap dan gatal jarinya. Kalau ada di antara teman-teman Anda yang negarawan itu masih menganggap partisipasi politik kita memprihatinkan, maka sungguhlah ia insan yang hidup dalam gua.

Kendati demikian, dalam hati kecil Anda tentu sadar dengan kualitas dari partisipasi politik yang terhampar di hadapan Anda. Kualitasnya, Anda tahu, jeblok. Produk paripurna dari partisipasi politik kita hari ini adalah polarisasi antara cebong dan kampret. Bukan antara kelompok yang memperjuangkan paradigma penyejahteraan yang berbeda? Bukan. Bukan pula antara mereka yang mengadvokasi kesetaraan dan kemajuan.                              

Dan beberapa kritik paling spektakulernya:

Presiden harus bertanggung jawab karena mengelabui rakyat dengan memakai pemeran pengganti dalam adegan berbahaya pembukaan Asian Games. Presiden tidak peka dengan kesulitan rakyat karena menyuruh beternak kalajengking (pernyataan beternak kalajengking, waktu itu, sekadar lelucon sepintas di tengah pidatonya yang lebih serius perihal perencanaan pembangunan). Presiden kita plonga-plongo dan tidak bisa diandalkan.

Di kubu seberang, sementara itu, puja-puji tiada tara dan tanpa malu-malu selalu terhatur untuk presiden. Perolehan medali emas kontan dilekatkan dengan kehebatan sang Presiden, melupakan usaha dari segenap anasir lainnya, melupakan bahwa reformasiolahraga mustahil terjadi dalam tempo 2-3 tahun, melupakan manuver politik yang memungkinkan tuan rumah memilih cabang olah raga di mana ia punya keunggulan.

Infrastruktur yang kini terbangun megah di mana-mana dianggap sebagai anyaman tangan Jokowi, mengabaikan bahwa siapa pun presiden yang terpilih, Tiongkok akan mengucurkan pinjaman berlimpah untuk pembangunannya.

"Tapi, bukankah menteri-menteri Jokowi tidak korupsi? Bukankah kalau presidennya bapak itu proyek-proyek infrastruktur nantinya jadi bahan bancakan kroni-kroninya?”

Siapa bilang. Idrus Marham, Menteri Sosial, terseret KPK karena korupsi kontrak kerja sama pembangunan PLTU. PDIP dan PKB sempat terciduk menodong posisi pendamping desa ke kementerian-kementerian. Siapa pun presidennya, toh, partainya itu-itu saja: kendaraan-kendaraan politik gurem yang seleranya cuma akan bangkit dengan jabatan dan kekayaan. Dan Jokowi tak pernah sekebal itu dari ancaman partai-partai koalisi akan mencabut dukungannya.

Intinya, tak usahlah kita membela penguasa atau oposisi sampai-sampai mempermalukan akal sehat kita sendiri.

Tetapi, tidak. Kita perlu menistakan akal sehat kita sendiri. Calon Wakil Presiden Jokowi adalah sosok garda depan dalam persekusi minoritas? Alangkah cerdiknya langkah politik Jokowi menyekak mat kelompok konservatif, puji kelompok minoritas. Pemerintah ingin memoderasi penggunaan toa masjid agar tidak terlalu keras dan tidak sampai mengganggu? Rezim cebong sedang mempersekusi Islam. Masjid-masjid kini harus memasang toa tambahan dan menyetelnya sekeras-kerasnya.

Kita kini punya kesadaran politik, benar. Sayangnya, ia adalah kesadaran politik yang juga berwatak tribal. Kubu adalah segalanya. Kemenangan kubu saya, terlepas tak ada faedahnya buat siapa-siapa maupun saya sendiri, terlepas ia digayung melalui hoaks serta taktik yang mengorbankan semua prinsip, adalah segalanya.

Jadi, Anda bisa menerka, 2019 nanti tingkat partisipasi warga dalam pemilihan umum mungkin akan luar biasa tinggi. Bukan tidak mungkin, setinggi-tingginya partisipasi politik dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, ia muncul dari kesadaran politik yang juga berabe. Di dalamnya, ada angan-angan bahwa pemimpinnya sempurna, tidak bercela, dan pemimpin kubu lawan adalah penjelmaan dari semua kesalahan yang ada di dunia. Kubunya adalah pembela kebenaran. Kubu seberang ialah pembela kebatilan.

Benar, orang-orang akan berlomba-lomba menceburkan diri dalam politik. Namun, mereka berpartisipasi semata untuk memuaskan fantasi benar-salah mereka masing-masing. Di luar sana, dunia akan berjalan dengan logikanya sendiri. Bergulir tak tersentuh oleh keributan-keributan politik tak berdasar, tak bermutu.

Dan bila ini yang benar terjadi, saya merasa kita perlu mendengar tembang Brecht yang lain:

Siapa yang membangun Thebes yang bergerbang tujuh?

Di buku-buku hanya tertulis nama raja-raja.

Apakah raja-raja yang mengangkut berbongkah-bongkah batu?

Dan Babilonia, berulang kali dihancurkan.

Siapa yang terus-menerus mendirikannya kembali? Di rumah mana di Lima,

Kota yang bersimbah emas itu, tinggal tukang yang membangunnya?

Ke mana, pada malam hari usai Tembok Besar Cina rampung, para tukang batu pergi? Kekaisaran Roma dipenuhi bangunan-bangunan kejayaan. Siapakah yang mendirikannya? Atas siapakah Caesar berjaya? Apakah Byzantium, yang dipuja-puji dalam kidung, hanya istana bagi para penghuninya? Bahkan dalam Atlantis yang melegenda, pada malam samudera menenggelamkannya, orang-orang masih meneriaki budak-budak mereka.

Judul sajak Brecht di atas? "Pertanyaan dari Seorang Pekerja yang Membaca”. Tulis Brecht menutup puisinya:

Begitu banyak pewartaan.

Begitu banyak pertanyaan.

 

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.