1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Otomotif dan MobilitasIndonesia

Indonesia dan Ekosistem Mobil Listrik ASEAN

10 Maret 2023

Tidak hanya kekayaan bahan baku yang bisa Indonesia tawarkan untuk pengembangan mobil listrik di ASEAN. Rantai pasokan regional memegang peran penting bagi terwujudnya ekosistem mobil listrik di ASEAN.

https://p.dw.com/p/4OSpD
Toyota memperkenalkan 16 kendaraan listrik masa depan mereka di Koto Ward, Tokyo, Jepang, 14 Desember 2021.
Toyota memperkenalkan 16 kendaraan listrik masa depan mereka di Koto Ward, Tokyo, Jepang, 14 Desember 2021.Foto: Ikuhiro Yoneda/The Yomiuri Shimbun/AP Images/picture alliance

Penggunaan kendaraan bertenaga listrik atau electric vehicle (EV) digadang sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tidak heran, berbagai produsen otomotif di banyak negara termasuk di kawasan ASEAN kini berlomba memproduksi kendaraan dengan bahan bakar tersebut.

Seperti dikutip dari pernyataan pers Kementerian Komunikasi dan Informatika, Presiden Joko Widodo mengungkapkan ASEAN punya potensi besar bagi pengembangan kendaraan listrik dengan perkiraan pasar mencapai 2,7 miliar dolar Amerika Serikat di tahun 2027.

Indonesia memiliki 23% cadangan nikel dunia yang sangat penting bagi manufaktur di bidang ini. Saat ini Indonesia juga tengah mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Target produksi mobil berbahan listrik sebanyak 600 ribu unit dan 2,45 juta sepeda motor listrik per tahun di 2030 pun ditetapkan dengan harapan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 3,8 juta ton.

Pentingnya kerja sama dengan ASEAN

Namun, untuk mencapai target seperti itu, Indonesia dinilai masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah. Salah satunya yaitu meyakinkan negara-negara ASEAN agar mau terlibat dan bekerja sama dalam mewujudkan ekosistem mobil listrik di kawasan. Demikian menurut Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.

"Dibutuhkan kerja sama dalam hal membangun rantai pasok regional," kata Yose dalam sebuah seminar di Jakarta Februari lalu. Sebagai contoh, Indonesia memiliki pasokan nikel, tapi pemrosesan bahan baku tersebut bisa dilakukan di negara tetangga di wilayah Asia Tenggara.

Dia menjelaskan bahwa Indonesia harus bisa menyamakan visi agar sesama anggota ASEAN dapat bahu-membahu, alih-alih bersaing secara ketat. "Harus ada kebijakan yang dapat mengatur (ekosistem mobil listrik)," kata Yose kepada DW Indonesia selepas acara seminar tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, ekonom energi di lembaga Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto, menjelaskan Vietnam juga tengah membangun industri mobil nasional elektrik di dalam negeri melalui VinFast. Vietnam memiliki kemampuan mengembangkan mobil listrik karena didukung industri dalam negeri yang menghasilkan komponen-komponen otomotif seperti kabel, kata Joko.

"Indonesia bisa melihat kebutuhan rantai pasok regional sebagai langkah menekan biaya produksi," papar Joko.

VinFast diketahui menerima suntikan investasi sebesar 1,2 miliar dolar Amerika Serikat untuk membangun pusat manufaktur di North Carolina, Amerika Serikat, pada Juli 2022, seperti dikutip dari keterangan pers perusahaan. VinFast juga mengoperasikan pabrik dengan peralatan dan infrastruktur kelas dunia dengan kapasitas produksi 500,000 mobil dan 500,000 skuter matik per tahun.

Apa yang Indonesia bisa tawarkan?

Hal serupa juga diutarakan pengamat otomotif Bebin Djuana. Menurutnya, rantai pasok skala regional sangat dibutuhkan untuk mewujudkan ekosistem mobil listrik di Asia Tenggara. Dia mencontohkan, memang salah satu komponen utamanya adalah baterai listrik, tapi tetap saja ada komponen pendukung lain yang tidak dimiliki Indonesia.

"Istilahnya (cari) di ASEAN dulu, ketika ASEAN tidak punya, ya skala Asia. Siapa yang punya dan seterusnya," ujar Bebin kepada DW Indonesia.

Tidak hanya kekayaan bahan baku yang bisa ditawarkan, Indonesia juga bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman membangun industri otomotif selama lebih dari 30 tahun. Indonesia memiliki berbagai industri penghasil komponen untuk sektor industri otomotif, ujar Bebin. "Komponen per komponen sudah mumpuni. Contoh, pabrik ban, pabrik velg. Kita punya industri per, ada kaca, cat," ujar Bebin. 

Tantangan investasi dan infrastruktur pendukung mobil listrik

Kendati demikian, Bebin Djuana mewanti-wanti beberapa hambatan yang ia nilai bisa menghalangi target pencapaian ekosistem mobil listrik di kawasan Asia Tenggara, seperti dana investasi. Menurutnya, membangun ekosistem tersebut akan membutuhkan dana miliaran dolar Amerika Serikat.

Namun menurut Bebin, untuk persoalan investasi telah ada sejumlah negara besar yang tertarik membantu dalam bentuk teknologi bagi kawasan ASEAN untuk menjadi produsen mobil listrik. Contohnya, Cina atau Korea Selatan. "Indonesia bukan hanya sebagai negara importir, tapi mau memproduksi," tuturnya.

Selain itu, dia menilai jumlah Stasiun Pengisian Kendaraaan Listrik Umum (SPKLU) yang ada saat ini masih jauh dari cukup. Ini adalah stasiun khusus bagi pengguna kendaraan listrik untuk mengisi daya. "Belum lihat siapa yang akan buat SPKLU atau unit charging. Kalau pada konsentrasi bikin EV car, lalu siapa yang akan bikin unit charging-nya," ujar Bebin. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).