1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Isu Lingkungan di Indonesia Bikin Gentar Investor Asing

31 Maret 2023

Ketika pemerintahan Joko Widodo sibuk melonggarkan regulasi tambang, investor Barat justru mencari mitra untuk penambangan ramah lingkungan. Strategi Jakarta berpotensi meredupkan minat pada potensi mineral nusantara.

https://p.dw.com/p/4PZ9w
Tambang nikel di Indonesia
Tambang nikel di IndonesiaFoto: Farida Indriastuti/DW

Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berambisi menjadi raksasa industri kendaraan elektrik. Logam bersifat lentur itu digunakan secara massal untuk memproduksi baterai dan teknologi ramah lingkungan yang lain.

Namun demi menjaring minta investor Barat, analis menilai Indonesia harus membenahi tata kelola tambang, yang selama ini menyisakan banyak kehancuran, terutama di pulau-pulau penghasil timah, dan memicu bencana lingkungan bagi warga lokal.

Dalam hanya tiga tahun, pemerintahan Joko Widodo menandatangani kerja sama produksi baterai dan kendaraan elektrik senilai USD 15 miliar dengan perusahaan Cina dan Korea Selatan. Jokowi bahkan sempat melobi Elon Musk secara pribadi agar mau membangun pabrik baterai di tanah air.

Tapi ketika tekanan sosial akibat kerusakan lingkungan menguat, semakin banyak investor yang mengkhawatirkan reputasi jika berbisnis dengan mitra bermasalah. 

Masalah Lingkungan: Penambangan Lithium bagi Mobilitas Elektrik

Embargo bagi perusak lingkungan

Dalam hal ini, Danny Marks, asisten guru besar Studi Politik dan Kebijakan Lingkungan di Universitas Dublin City, menilai Indonesia harus banyak berbenah.

"Indonesia sebaiknya memetik pelajaran dari pengalaman pertambangan timah yang tidak hanya diwarnai kecelakaan fatal dan praktik buruh anak-anak, tapi juga merusak secara permanen lanskap di Kepulauan Bangka-Belitung,” kata dia dalam wawancara dengan Reuters.

"Produsen kendaraan elektrik tidak ingin rantai suplainya ternodai dengan cara serupa,” imbuhnya. "Pemerintah Indonesia harus segera memperkuat kapasitas dan kapabilitas melindungi lingkungan, supaya masalah serupa tidak muncul dalam penambangan nikel.”

Rahul Gupta, dari lembaga konsultasi McKinsey di Singapura, mengatakan Indonesia cenderung menggaet investasi untuk produksi baterai dan peraktikan kendaraan elektrik. Adapun negeri jiran Vietnam dan Thailand fokus pada pasar elektrik roda dua.

Tambang Nikel Finlandia Harapan Baru Produksi Baterai Eropa

Reputasi hijau permudah investasi

Tapi, metode penambangan nikel dan produksi baterai di Indonesia masih bersifat kaya emisi, karena antara lain digerakkan oleh pembangkit batu bara. Analis menilai, beban emisi dan kerusakan lingkungan di tingkat produksi akan menodai neraca iklim perusahaan asing seperti Tesla.

Pemerintah di Jakarta sejatinya setuju untuk mulai meninggalkan batu bara dan beralih ke energi terbarukan. Pertanyaannya kini adalah seberapa cepat Indonesia mampu bertransformasi dan menjadi mitra yang serius bagi pertambangan ramah lingkungan.

Risikonya dipaparkan oleh Albidin Linda, pakar perubahan iklim dan keberlanjutan di lembaga konsultasi, EY Indonesia. 

"Pertambangan adalah industri yang rentan terhadap risiko lingkungan dan reputasi, dan hal ini akan berdampak kepada perusahaan yang memprioritaskan keberlanjutan,” kata dia. "Dengan perlindungan lingkungan dan pengawasan yang relatif tidak stabil, Indonesia bisa dianggap berisiko oleh Tesla atau produsen kendaraan elektrik yang lain.”

Pekan ini, Presiden Jokowi berjanji akan memperkuat pengawasan dan standar lingkungan bagi penambangan nikel. Kepada Reuters, dia mengklaim perusahaan antara lain akan diwajibkan menggunakan energi terbarukan dan menjalankan pemulihan lingkungan pascatambang.

Bagi pegiat iklim, selama masih menyisakan kerusakan lngkungan dan penderitaan bagi warga lokal, tata kelola tambang di Indonesia masih bermasalah. 

"Kita sedang berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan iklim, dan satu kaki berpacu untuk mengelektrifikasi semuanya, tapi prosesnya tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia, hutan dan sumber air bersih,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia. 

Reuters (rzn/as )