1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Junta Myanmar Tunda Pemilu dan Perpanjang Keadaan Darurat

1 Agustus 2023

Junta militer Myanmar resmi memperpanjang status keadaan darurat selama enam bulan dan menunda pemilu yang telah dijanjikan sebelumnya. Mereka mengklaim, kekerasan yang masih berlangsung menjadi salah satu alasannya.

https://p.dw.com/p/4UcS8
Pemimpin Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing
Foto Min Aung Hlaing menginspeksi pasukan tentara dalam parade peringatan Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Senin (27/03)Foto: Aung Shine Oo/AP Photo/picture alliance

Pemerintah penguasa junta Myanmar resmi menunda pemilihan umum (pemilu) yang sebelumnya dijanjikan bakal diselenggarakan pada bulan Agustus ini, pascakudeta tahun 2021. Keputusan itu disiarkan oleh kantor berita negara pada Senin (31/07) malam.

Pemimpin junta Min Aung Hlaing menyampaikan perpanjangan status kedaruratan itu bakal berlangsung selama enam bulan ke depan. Pernyataan itu disampaikan dalam sebuah pertemuan dengan Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional (National Defence and Security/NDSC) pada Senin (31/07).

Sebelumnya, militer telah berjanji untuk mengadakan pemilu pada Agustus 2023 usai menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi. Namun, mereka mengklaim bahwa kekerasan yang masih berlangsung merupakan salah satu alasan untuk menunda pemungutan suara.

"Saat mengadakan pemilu, agar dapat tercipta pemilu yang bebas dan adil, serta dapat memilih tanpa rasa takut, diperlukan pengaturan keamanan, sehingga periode keadaan darurat harus diperpanjang," kata pihak militer dalam sebuah pernyataan di kantor berita negara.

Kekhawatiran pihak Amerika Serikat

Merespons pernyataan tersebut, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa perpanjangan status keadaan darurat bakal menjerumuskan Myanmar "lebih jauh ke dalam kekerasan dan ketidakstabilan".

"Amerika Serikat sangat prihatin dengan perpanjangan status keadaan darurat yang disampaikan oleh junta militer Myanmar, hal ini dapat membuat Myanmar makin terjerumus dalam kekerasan dan keadaan tidak stabil," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller.

Militer mengambil alih kekuasaan setelah menuding adanya kecurangan dalam pemilu pada November 2020 yang saat itu dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Namun, badan pengawas pemilu saat itu tidak menemukan adanya bukti kecurangan massal.

Penggulingan pemerintahan Suu Kyi menggagalkan satu dekade reformasi, bantuan internasional, dan pertumbuhan ekonomi.

Pengungsi Rohingya Diculik, Disiksa dan Diperkosa

"Sejak menggulingkan pemerintahan terpilih dua setengah tahun lalu, junta militer telah melancarkan ratusan serangan udara, membakar puluhan ribu rumah, membuat lebih dari 1,6 juta orang kehilangan tempat tinggal," papar Miller.

"Kebrutalan rezim ini meluas dan mengabaikan aspirasi demokratis rakyat Myanmar sehingga memperpanjang krisis," tambahnya.

"Amerika Serikat bakal terus bekerja sama dengan mitra dan sekutu kami untuk menggunakan cara-cara politik dan ekonomi untuk meminta pertanggung jawaban rezim ini."

Bulan lalu, Washington menjatuhkan sanksi terhadap Kementerian Pertahanan Myanmar dan dua bank "yang dikendalikan oleh rezim", yakni Myanma Foreign Trade Bank dan Myanma Investment Commercial Bank.

mh/ha (Reuters, AFP)