1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Aliansi Legislatif Transnasional Menentang Cina?

William Yang
21 Februari 2023

Aliansi Antar-Parlemen untuk Cina bertujuan untuk mengoordinasikan tanggapan negara-negara demokratis terhadap Cina. Analis politik mengatakan ada keterbatasan kemampuan kelompok untuk merumuskan langkah-langkah konkret.

https://p.dw.com/p/4NmOb
Liz Truss dan Scott Morrison
IPAC, yang beranggotakan mantan Perdana Menteri Inggris Liz Truss (kiri) dan mantan Perdana Menteri Australia Scott Morrison (kanan), mendapat kritik dari media pemerintah CinaFoto: Androniki Christodoulou/REUTERS

Inter-Parliamentary Alliance on China (IPAC) atau Aliansi Antar-Parlemen untuk Cina, sebuah organisasi tidak resmi yang mencakup anggota parlemen dari sekitar 30 negara, mengadakan simposium pada Jumat (17/02) lalu di Tokyo untuk menyerukan kebijakan yang lebih keras terhadap Cina.

Pertemuan tersebut mencerminkan upaya IPAC untuk mereformasi pendekatan negara-negara demokratis ke Cina, menurut pernyataan pendiri kelompok tersebut. Didirikan pada tahun 2020, kehadiran IPAC telah dikritik oleh media pemerintah Cina karena terdiri dari pasukan "anti-Cina" dan beberapa anggotanya telah dikenai sanksi oleh Beijing dalam beberapa tahun terakhir.

"Kami berusaha menggunakan alat yang tersedia bagi pembuat undang-undang untuk meningkatkan kesadaran, menyarankan kebijakan, dan mengalihkan perdebatan," kata Direktur Eksekutif IPAC Luke de Pulford.

Beberapa ahli mengatakan IPAC membantu meningkatkan pertukaran informasi di seluruh badan legislatif karena negara-negara mempertimbangkan tanggapan terhadap risiko dan tantangan yang ditimbulkan oleh pemerintah Cina. "Dalam menghadapi Cina yang lebih asertif, pertukaran semacam itu membantu meningkatkan lingkungan informasi, dan mungkin koordinasi dapat memungkinkan perlindungan kepentingan yang lebih baik,” kata Ian Chong, seorang ilmuwan politik di National University of Singapore.

"IPAC sangat komprehensif dalam fokusnya, yang mencakup ancaman Cina terhadap demokrasi, hak asasi manusia, keamanan nasional, perdagangan, dan ketertiban berbasis aturan,” kata Zsuzsa Anna Ferenczy, asisten profesor di Universitas Nasional Dong Hwa di Taiwan dan mantan penasihat politik di Parlemen Eropa.

Diplomasi jadi metode efektif

Ilmuwan politik Chong menekankan bahwa penting untuk tidak melebih-lebihkan kemampuan IPAC. "Badan legislatif seharusnya meninjau dan memperluas pengawasan daripada memulai," katanya kepada DW. "Badan legislatif cenderung lebih sedikit memulai dalam hal terobosan kebijakan. Dalam hal itu, karena IPAC adalah badan yang berurusan dengan badan legislatif, maka secara alami akan memiliki posisi yang lebih pasif."

Namun, Ferenczy menganggap diplomasi parlementer telah menjadi metode yang efektif dalam mengatasi ancaman dari China.

"Dikritik secara terbuka adalah sesuatu yang tidak dihargai oleh Beijing, dan dari perspektif Eropa, Parlemen Eropa telah menjadi entitas utama yang mendorong lembaga-lembaga Eropa untuk lebih bersedia mengkritik Cina secara terbuka,” katanya kepada DW. "Fakta bahwa beberapa anggota parlemen berada di IPAC adalah implikasi lain bahwa diplomasi parlemen telah menjadi platform utama."

IPAC juga suarakan pelanggaran HAM

Aliansi tersebut dicirikan sebagai "anti-Cina" oleh media pemerintah Cina, tetapi de Pulford menegaskan kritik IPAC terhadap Beijing ditujukan kepada Partai Komunis, bukan rakyat Cina atau negara Cina itu sendiri.

"Jika menjadi hawkish (bersikap agresif) berarti menolak untuk menerima pelanggaran HAM massal dan korupsi aturan internasional, maka Beijing akan membuat semua orang menjadi elang pada akhir dekade ini," katanya kepada DW.

Chong mengatakan beberapa anggota IPAC yang lebih vokal telah membantu mengangkat masalah hak asasi manusia yang penting.

Contohnya saja, anggota IPAC di Inggris Raya pada pekan lalu memprakarsai kampanye untuk menentang rencana kunjungan Gubernur Xinjiang Erkin Tuniyaz. Menyusul tekanan yang meningkat, Kementerian Luar Negeri Inggris mengumumkan bahwa Tuniyaz telah membatalkan perjalanannya, sebuah langkah yang dipandang sebagai kemenangan oleh anggota IPAC.

Joe Biden dan Xi Jinping
Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden bertemu di KTT G20 di Bali pada November 2022Foto: Saul Loeb/AFP/Getty Images

Mantan penasihat politik Parlemen Eropa Ferenczy mengatakan bahwa dalam konteks Eropa, beberapa negara anggota UE dan anggota parlemen masih ragu terhadap sikap IPAC terhadap Cina.

"Uni Eropa memerlukan berbagai pandangan dan gagasan, dan ketika masih belum ada konvergensi tentang bagaimana mengatasi ancaman dari Cina di UE, UE dan banyak negara anggota tidak sepenuhnya nyaman dengan menerima beberapa pandangan dari IPAC, " katanya kepada DW.

"IPAC telah menjadi sangat menonjol di negara-negara demokrasi dalam waktu yang sangat singkat, dan ketika negara-negara anggota UE mencoba mencari cara untuk mengatasi ancaman ekonomi dari Cina, saya pikir di situlah mereka mungkin belum siap untuk merangkul platform seperti IPAC, " dia berkata. (ha/hp)