1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Dunia Jauhi Titik Kritis Perubahan Iklim?

Stuart Braun
27 Oktober 2023

Solusi pengurangan emisi gas rumah kaca harus segera dilaksanakan, sebelum iklim Bumi, sistem produksi pangan dan cadangan air kolaps, tulis Universitas PBB dalam riset teranyarnya.

https://p.dw.com/p/4Y3Z6
Banjir di Vietnam
Banjir di Vietnam, 2020Foto: MANAN VATSYAYANA/AFP via Getty Images

Laporan iklim terbaru yang diterbitkan oleh Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) di Universitas PBB menyiratkan kemuraman. "Dampak yang mengerikan dan tidak dapat dicegah bagi manusia dan planet Bumi,” akan segera terjadi jika ekosistem global yang rusak tidak dapat dikembalikan lagi, demikian menurut para peneliti.

Enam titik kritis yang diuraikan dalam "Laporan Risiko Bencana yang Saling Berhubungan 2023" mencakup keringnya cadangan air tanah yang akan membahayakan produksi pangan dan kelangsungan hidup manusia di dunia yang kian panas dan hilangnya spesies kunci yang dapat memicu keruntuhan ekosistem.

"Saat kita mendekati titik kritis ini, kita sudah mulai merasakan dampaknya. Sekali kita melewatinya, akan sulit untuk kembali ke masa lalu,” kata Jack O'Connor, penulis utama dan peneliti  senior di UNU-EHS.

Manusia tidak cuma mendorong planet ke titik kritis, namun juga memiliki solusinya. Mengurangi emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, misalnya, akan sangat penting untuk memerangi "panas yang tak tertahankan” yang juga terkait dengan pencairan gletser dan kepunahan cadangan air tanah.

Para peneliti juga menegaskan, transformasi besar-besaran akan diperlukan untuk mengurangi risiko kekacauan iklim, sistem pangan dan pasokan air.

Mempercepat kepunahan flora dan fauna

Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam, perubahan iklim, polusi dan masuknya spesies invasif merupakan faktor yang mempercepat kepunahan flora dan fauna, yang berlangsung antara 10 hingga 100 kali lebih cepat ketimbang laju alami di bumi, demikian catatan UNU-EHS.

"Kita meningkatkan risiko kepunahan massal spesies-spesies yang saling berhubungan erat,” kata Zita Sebesvari, penulis laporan dan wakil direktur UNU-EHS.

Contohnya adalah lubang galian kura-kura gopher, yang ikut digunakan oleh lebih dari 350 spesies lain untuk berlindung, berkembang biak, mencari makan atau menghindari suhu ekstrem.

Pada pertengahan abad ini, sebanyak 10 persen spesies flora dan fauna di dunia diperkirakan akan musnah. "Laju kepunahan akan memuncak sebanyak 27 persen spesies pada tahun 2100", kata Sebesvari kepada DW.

"Kita perlu memikirkan kembali strategi konservasi,” kata wakil direktur UNI-EHS itu. Tujuannya bukan lagi menyelamatkan spesies yang terancam punah, melainkan untuk "menyelamatkan hubungan alami", yang berarti menghentikan penebangan hutan dan pengrusakan habitat yang menjadi penyebab kepunahan.

Bencana Banjir Terburuk Slovenia dalam Beberapa Dekade

Penipisan cadangan air tanah

Di luar gletser atau pegunungan, tanah menyimpan cadangan air terbesar di muka Bumi. Peran air tanah akan semakin penting karena terancam eksploitasi berlebihan di tengah krisis iklim. Menurut para peneliti, air tanah memasok air minum untuk lebih dari 2 miliar orang.

Celakanya, cadangan air di dalam akuifer berkurang lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk mengisi kembali secara alami. Saat ini, sekitar 70% akuifer alami sedang atau telah dikeringkan untuk sektor pertanian.

Zita Sebesvari mengatakan, penanaman padi di wilayah kering Punjab di barat laut India, yang dulunya berkembang pesat, kini menjadi sangat bergantung pada air tanah. Kini, akuifer-akuifer tersebut dilaporkan mulai mengering. 

Solusinya, kata Sebesvari, adalah konsep budi daya padi yang lebih holistik, termasuk memelihara lahan basah untuk membantu mengalirkan air ke dalam akuifer. Petani pada akhirnya perlu mengurangi pemborosan air, katanya.

Panas yang tak tertahankan

Dampak langsung pencairan gletser akibat perubahan iklim adalah meningkatnya suhu panas ekstrem, yang sejak dua dekade terakhir telah menyebabkan rata-rata 500.000 kematian setiap tahunnya.

Kelembapan yang tinggi membuat panas semakin tidak tertahankan karena mencegah penguapan keringat dan membatasi mekanisme pendinginan alami tubuh, menurut laporan UNU-EHS.

Ketika suhu melebihi 35 C (95 F) selama lebih dari enam jam, tubuh tidak lagi mampu mendinginkan diri dan sebabnya dapat mengakibatkan kegagalan organ atau kerusakan otak.

Laporan tersebut merujuk kepada penelitian yang meramalkan bahwa pada tahun 2070, sebagian wilayah Asia Selatan dan Timur Tengah sudah akan melampaui ambang batas tersebut.

Dengan sekitar 30% populasi Bumi saat ini sudah terpapar gelombang panas selama setidaknya 20 hari per tahun, jumlahnya dapat meningkat menjadi lebih dari 70% pada tahun 2100.

Saat ini pun, sudah banyak negara di dunia yang mendekati titik kritis tersebut. Di sini adaptasi, semisal menyediakan tempat berteduh dan perumahan yang lebih sejuk, perlu segera dilaksanakan.

Menurut PBB, kerusakan akibat bencana yang berhubungan dengan cuaca telah meningkat tujuh kali lipat sejak tahun 1970an. Pada tahun 2022, bencana cuaca ekstrem menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar $313 miliar. UNU-EHS melaporkan, jumlah bencana iklim diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2040. 

Akibat meningkatnya risiko bencana cuaca ekstrem, premi asuransi juga meningkat sebesar 57% sejak tahun 2015. Akibatnya, perusahaan mulai meninggalkan wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi.

rzn/as