1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Persaingan AS-Cina dan Strategi Keamanan Asia-Pasifik

29 Desember 2022

Kebangkitan Cina mengubah keseimbangan kekuatan di Indo-Pasifik. Situasi ini menimbulkan risiko bagi stabilitas di kawasan dan di tataran global.

https://p.dw.com/p/4LHYA
Philippinen | US-Philippinisches Militärmanöver im Südchinesischen Meer
Foto: Ezra Acayan/Getty Images

"Biarkan Cina tidur, karena ketika dia bangun, dia akan mengguncang dunia," kutipan ini sering dikaitkan dengan Napoleon Bonaparte dan mengungkapkan kehawatiran negara-negara Barat saat ini melihat kebangkitannya menjadi negara adikuasa global.

Selama hampir tujuh dekade, Amerika Serikat telah menjadi jantung arsitektur keamanan di Kawasan Asia-Pasifik. Untuk menjaga kepentingan globalnya, AS membangun aliansi bilateral dengan lima negara: Jepang, Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Australia.

Selain itu, Washington memiliki kemitraan keamanan dengan sejumlah negara lain di kawasan ini, termasuk hubungan khusus dengan Taiwan, yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan dari tahun 1979. Pada saat itu, AS meninggalkan hubungan formal dengan Republik Cina - nama resmi Taiwan - untuk menjalin hubungan resmi dengan Republik Rakyat Cina.

Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan menetapkan bahwa setiap upaya Beijing untuk mengubah status quo di Selat Taiwan melalui cara-cara koersif harus dilihat sebagai ancaman bagi AS. Undang-Undang tersebut juga memungkinkan pengiriman senjata pertahanan ke Taiwan.

Pada tahun 2014, Presiden Cina Xi Jinping menyatakan bahwa arsitektur keamanan yang didominasi AS adalah "peninggalan Perang Dingin". Dia menyerukan agar sistem yang dipimpin AS diganti dengan tatanan regional yang dipimpin oleh negara-negara Asia sendiri.

Kapal perusak AS USS Chancellorsville di lautan Filipina
Kapal perusak AS, USS Chancellorsville, melintas di lautan FilipinaFoto: Mass Communication Specialist 2nd Class Ryan J. Batchelder/U.S. Navy via AP/picture alliance

Jaringan keamanan di Asia-Pasifik

Cina sendiri sejauh ini menghindari masuk ke aliansi militer apa pun, dengan pengecualian sejarah hubungannya dengan Korea Utara. Namun dalam beberapa tahun terakhir, Beijing mulai menjalin kemitraan keamanan dengan Rusia, Kamboja, Laos, Iran, dan Pakistan.

Selain jaringan keamanan yang berpusat di sekitar AS dan Cina, masih ada kemitraan lain di Asia yang dirancang untuk memastikan keamanan dan stabilitas. Misalnya forum yang dibentuk oleh ASEAN, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) atau KTT Asia Timur, EAS. Selain negara-negara ASEAN, forum ini juga melibatkan AS, Cina, India, dan Jepang.

Kebangkitan Cina yang mengklaim dirinya sebagai "kekuatan kepemimpinan global” adalah tantangan nyata utama bagi arsitektur keamanan Asia yang telah ada sejak akhir Perang Korea pada tahun 1953, kata Felix Heiduk, peneliti di institut politik internasional Jerman SWP di Berlin.

Banyak negara di Indo-Pasifik yang belakangan melakukan investasi besar-besaran, misalnya pada kapal selam dan sistem persenjataan yang relatif mahal dan rumit. Dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam, Singapura, Indonesia dan Australia telah menyelesaikan kesepakatan kapal selam.

Menanggapi tantangan yang ditimbulkan oleh meningkatnya ketidakpastian geopolitik, negara-negara seperti Jepang, Australia, dan India telah meluncurkan strategi Indo-Pasifik baru. Bahkan negara-negara Eropa juga membuat strategi mereka sendiri, seperti "Pedoman Kebijakan Indo-Pasifik" Jerman dan "Strategi Kerjasama Indo-Pasifik" Uni Eropa.

Strategi keamanan dengan kepentingan berbeda

Felix Heiduk mengatakan, belakangan ada kecenderungan "asianisasi" arsitektur keamanan, yang berarti penurunan relatif dalam dominasi AS. Sampai batas tertentu, keinginan Xi Jinping untuk pengaturan keamanan yang dipimpin oleh negara-negara Asia tampaknya mulai terpenuhi.

Namun dalam sebuah studi untuk SWP baru-baru ini, Felix Heiduk menunjukkan dengan rinci bagaimana berbagai aktor di Asia memiliki kepentingan dan visi berbeda-beda dalam menata ulang keamanan di Indo-Pasifik.

Indonesia misalnya mengambil pendekatan kooperatif dan secara eksplisit memandang Cina sebagai mitra. "Dengan demikian, Jakarta mencoba menawarkan alternatif keamanan yang inklusif dan berpusat pada ASEAN untuk memperdalam bipolaritas AS-Cina di Indo-Pasifik,” kata Heiduk. Sebaliknya, AS, India, dan Australia "menganggap arsitektur keamanan regional sebagai konstruksi, di mana keamanan dibangun untuk menghadapi, bukan bersama dengan, Cina."

Perbedaan kepentingan dan strategi ini memperjelas bahwa keamanan di Kawasan Asia semakin dianggap antagonis oleh aktor-aktor pentingnya. Bagi pemain berpengaruh seperti AS, Australia atau India, keamanan berarti menahan pengaruh Cina, atau mengamankan supremasi mereka sendiri. Perang Ukraina, pada gilirannya, menunjukkan bagaimana konflik atas Taiwan bisa punya dampak menghancurkan bagi Asia dan bagi dunia.

(hp/yf)