1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikRusia

Putin Menang Pemilu Lagi, Seperti Apa Arah Kebijakannya?

Mikhail Bushuev
19 Maret 2024

Hampir tidak ada orang yang meragukan Putin terpilih kembali sebagai presiden Rusia. Tapi seperti apa arah kebijakan yang akan diambilnya dalam beberapa minggu mendatang? DW mewawancarai beberapa pakar terkait hal ini.

https://p.dw.com/p/4dsmB
Foto suasana Rusia
Putin telah berkuasa selama lebih dari dua dekade di RusiaFoto: AFP/Getty Images/M. Antonov

Banyak yang menilai pemilihan presiden di Rusia baru-baru ini hanya sebagai formalitas. Kemenangan Vladimir Putin dengan perolehan suara yang menembus rekor itu dianggap bukan hal yang mengejutkan.

"87% [perolehan suara] yang diumumkan menegaskan bahwa rezim Putin semakin diktator,” kata Regina Heller, seorang peneliti di Institut Penelitian Perdamaian dan Kebijakan Kemananan di Universitas Hamburg.

"Hasilnya tidak mencerminkan keinginan pemilih, tapi keinginan rezim,” ujarnya seraya menambahkan bahwa kemenangan itu akan befungsi sebagai "kekuasaan penuh bagi rezim, bagi kebijakan-kebijakan Putin, serta kebijakan dan tindakannya di Ukraina.”

Dalam wawancara dengan DW, pakar Eropa Timur, Hans-Henning Schroder, mengatakan bahwa rezim Putin telah mengalami kestabilan pascakrisis pada tahun 2023. Saat itu, Kremlin menghadapi pemberontakan dari Yevgeny Prigozhin, pemimpin Grup Wagner, sebuah milisi swasta yang mengabdi kepada Rusia. Namun, sosok Prigozhin kemudian dilaporkan tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat.

Usai kejadian itu, Putin kemudian terlihat dalam aktivitas-aktivitas publik yang dimaksudkan untuk memberi isyarat bahwa "dia tetap memegang kendali,” jelas Schroder.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menurut para pakar, rezim Putin bisa tetap berkuasa karena berbagai alasan, salah satunya karena stabilitas ekonomi Rusia meski dihantam berbagai sanksi Barat. Selain itu, siapa pun yang menentang perang Rusia melawan Ukraina akan menghadapi penindasan besar-besaran. Semua ini memungkinkan Kremlin untuk terus berkuasa seperti sebelumnya.

"Apa yang sudah kita lihat adalah Putin akan terus mengobarkan perang [melawan Ukraina], dengan intensitas yang tidak berkurang, namun mungkin justru akan meningkatkan pertempuran,” kata Regina Heller kepada DW.

Pajak naik untuk pendanaan perang?

Menurut Schroder, pidato Putin di Majelis Federal Rusia sebelum pemilu yang menyarankan amandemen undang-undang perpajakan menjadi sinyal kalau warga Rusia kemungkinan akan menghadapi kenaikan pajak.

"Bagaimanapun, perang di Ukraina memerlukan biaya yang besar”, kata Schroder kepada DW.

Pemilu Rusia di wilayah Ukraina
Otoritas Rusia juga mengadakan pemilihan presiden di wilayah Ukraina yang diduduki RusiaFoto: Alexei Konovalov/TASS/dpa/picture alliance

"Pemerintah butuh uang, dan ini hanya bisa dicapai dengan meningkatkan pendapatan pajak, dan pendapatan pajak tambahan ini tentu saja akan digunakan untuk mendanai perang,” kata Gerhard Mangott, profesor ilmu politik di Universitas Innsbruck, yang punya spesialisasi dalam hubungan internasional dan masalah keamanan yang berkaitan dengan wilayah pasca-Soviet.

Akan lebih banyak wajib militer?

Dalam wawancara dengan DW, Heller mengatakan bahwa banyak warga Rusia akan melihat mobilisasi tentara wajib militer yang baru. Menurutnya, hal ini dipandang sebagai skenario yang realistis, karena Putin tidak mengurangi retorika militernya.

"Kita dapat melihat bahwa dukungan Barat terhadap Ukraina tidak sekuat yang seharusnya, yang dari sudut pandang Kremlin, memberikan peluang untuk mengubah keseimbangan yang menguntungkan bagi mereka melalui mobilisasi massa yang baru,” kata Heller.

Meski begitu, upaya mobilisasi baru ini menurut Heller kemungkinan bisa berbahaya karena ada kelelahan perang yang besar di kalangan warga Rusia. Mangott mengamini hal ini dengan mengutip survei yang menunjukkan bahwa mobilisasi besar-besaran tidak mungkin dilakukan.

Kalau menurut Schroder, apakah akan ada mobilisasi baru atau tidak, tergantung pada rencana Rusia untuk Ukraina dalam beberapa bulan mendatang.

"Jika mereka ingin melakukan serangan dan mengalahkan Ukraina, mereka harus meningkatkan angkatan bersenjata mereka untuk menang dan mengendalikan negara,” katanya.

Meski begitu, Schroder beranggapan bahwa Rusia kemungkinan hanya berusaha terlihat sukses saja. "Kesan saya adalah bahwa sampai pemilihan presiden AS, hal ini dilakukan hanya sebagai upaya untuk mempertahankan keunggulan dan memberikan kesan keseluruhan di dalam dan luar negeri bahwa mereka berada di jalur kemanangan,” jelasnya.

Schroder menilai situasi Ukraina akan semakin buruk jika Presiden AS Joe Biden kalah dari Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat (AS) tahun ini. Menurut Schroder, jika hal itu terjadi, Rusia kemungkinan tidak perlu mengerahkan tentara tambahan dalam upaya mobilisasi besar-besaran.

Akan ada reshuffle kepemimpinan?

Menurut para pakar yang diwawancara DW, tidak akan ada perombakan besar yang diperkirakan terjadi di jajaran kepemimpinan Rusia pascapemilu baru-baru ini.

Schroder mengatakan bahwa Kremlin puas dengan kinerja Perdana Menteri Mikhail Mishustin. Bank sentral dan pembuat kebijakan keuangan Rusia juga menurutnya berhasil menstabilan perekonomian meski diguncang sanksi Uni Eropa (UE) dan AS sebagai respons terhadap perang di Ukraina. Inflasi juga terkendali.

"Pergeseran ekonomi Rusia dari Eropa ke Asia juga berjalan baik, itulah sebabnya Putin tampaknya tidak punya alasan untuk melakukan intervensi,” jelas Schroder.

Kalau menurut Heller, Putin sebelumnya telah menekankan bahwa Rusia membutuhkan elit baru yang pro-perang. Ia menilai beberapa dari elit baru tersebut kemungkinan akan direkrut dari putra-putri sekutu Putin, yang sudah lama ia kenal dan setia kepadanya.

Heller berpendapat, elit penguasa kemungkinan besar akan menjalani restrukturisasi dengan tujuan jangka panjang untuk mempersiapkan transisi kekuasaan yang lancar dan stabil setelah Putin berkuasa.

gtp/rs