1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Setengah Abad God Bless dan Peristiwa Malari

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
17 Januari 2024

God Bless konser 50 tahun berkarya pada pertengahan November lalu, yang dari segi waktu berdekatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa Malari. Apa hubungannya? Simak ulasan Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/4ZvtB
Setengah Abad MALARI di Taman Ismail Marzuki
Setengah Abad MALARIFoto: Aris Santoso

God Bless baru saja konser 50 tahun berkarya, pertengahan November lalu, yang dari segi waktu  berdekatan dengan peringatan 50 tahun Peristiwa Malari.

Meski bergerak di ranah berbeda, kedua entitas tersebut memiliki benang merah, memberi kesaksian situasi nasional pada dekade 1970-an.  God Bless dan gerakan Malari memiliki keprihatinan yang sama terhadap nasib rakyat kecil, yang jejaknya masih bisa kita temukan hari ini.

Dalam konser tersebut, salah satu tembang yang ditampilkan God Bless adalah "Balada Sejuta Wajah”, yang berbicara tentang nasib rakyat kecil. Lirik lagu ini bernada pesimistis, apakah nasib rakyat kecil akan lebih baik di masa mendatang, sebagaimana tertulis dalam bagian akhir: adakah hari esok makmur sentosa, bagi wajah-wajah yang mengiba.

Lagu itu dirilis 1980, artinya pesimisme God Bless kini terbukti. Hari ini, 40 tahun sesudah lagu itu dirilis, fenomena kemiskinan ekstrem masih saja terjadi. Sebagaimana berita foto dari sebuah harian nasional, foto yang sangat menyentuh nurani jutaan pembaca  Kompas, bagaimana seorang anak seusia SD bernama Agung, harus memulung menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama (Jakarta Selatan) untuk membantu nafkah keluarga (Kompas, 15/2/2022).

Agung hanyalah salah satu kasus,   bila para penguasa tidak hati-hati, kemiskinan ekstrem dikhawatirkan masih akan terjadi menjelang Indonesia Emas 2045, dan pengalaman Agung bisa dianggap sebagai kegagalan bonus demografi.

Atas dasar keprihatinan terhadap nasib rakyat kecil pula, gerakan Malari dulu disiapkan. Saat peristiwa Malari meledak, karena begitu otoriternya rezim Soeharto, informasi terkait dalih peristiwa Malari yang sebenarnya disembunyikan, diganti dengan isu yang lebih moderat: menentang investasi Jepang. Kebetulan pula saat itu, PM Jepang Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta.

Kemudian ada lagi isu, yang sejatinya juga parsial, yaitu rivalitas berlarut antara Ali Moertopo dan Soemitro, dua jenderal yang mengklaim sama-sama dekat dengan Soeharto. Baru bertahun-tahunskemudian, semuanya menjadi jelas, bahwa alasan utama peristiwa Malari sebenarnya sudah sampai tahap menentang rezim militeristik Soeharto, yang dianggap sebagai menjadi sumber penderitaan rakyat.

Baik penguasa saat itu, maupun para pelaku sendiri, sengaja menyamarkan motivasi gerakan. Penguasa memiliki kepentingan, jangan sampai gerakan Malari menjadi inspirasi bagi gelombang gerakan perlawanan (terhadap Soeharto) secara berkelanjutan. Sementara bagi para pelaku, sengaja menyamarkan motivasi yang sebenarnya, sekadar untuk menghindari tekanan yang lebih berat, namun pada akhirnya publik bisa mengerti.

Personel God Bless  dan tokoh gerakan Malari hampir semuanya menjadi ikonik, untuk God Bless bukan hanya sebatas nama Achmad Albar yang menonjol. Ian Antono ketika bermain gitar di panggung, seolah-olah kita menyaksikan titisan dewa sedang mendarat.  Pun dengan tokoh Malari, utamanya Hariman Siregar, meskipun tidak pernah menduduki jabatan formal di rezim mana pun, namun namanya selalu dikaitkan dengan berbagai peristiwa penting di tanah air. Hariman Siregar mirip posisi Gus Dur (sebelum menjadi Presiden), yang selalu menjadi rujukan dari berbagai pihak.

Secara kebetulan juga, (Bang) Hariman pada suatu masa, sempat mendapat julukan "Sejuta Wajah”, karena lingkaran pergaulan dengan spektrum yang luas,  mulai dari BJ Habibie (sejak sebelum menjadi Presiden),  lalu Jenderal Wiranto dari kelompok Cendana, hingga pelukis Semsar Siahaan (almarhum),  seorang seniman yang dikenal sangat keras dalam menentang Soeharto, dan cenderung "kiri”. Salah satu lukisan Semsar, masih terpampang pada salah satu ruangan di klinik milik Hariman.

Dari Benny ke Jokowi

Gagasan God Bless dan Malari, sampai kapan pun akan selalu aktual. Orang akan selalu mengingat, karena selalu diusahakan ada peringatan secara berkala. God Bless misalnya, selalu mengadakan konser skala besar dalam siklus lima tahunan, sementara Malari juga selalu diperingati setiap tahun, biasanya di komplek kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM). Gagasan God Bless dan Malari akan selalu aktual, ketika nasib rakyat hanya begitu-begitu saja dari waktu ke waktu, dan rezim sudah berganti sekian kali.

Salah satu jejak gerakan Malari yang masih relevan sampai hari ini adalah ikhtiar mereduksi dominasi militer.  Sebagaimana disebut sekilas di atas, bahwa Malari untuk sebagian merupakan efek rivalitas antara Ali Murtopo dan Soemitro. Kiranya sudah cukup menggambarkan, bagaimana konflik para jenderal saat itu hampir saja membakar Jakarta, dan tentu saja rakyat kecil tak bersalah juga yang menjadi korban.

Tak lama setelah Malari, dua jenderal tersebut secara perlahan menepi, untuk digantikan bintang baru yang kemudian sangat mewarnai langit politik Jakarta pada dekade berikutnya: Benny Moerdani. Saat peristiwa Malari meledak, posisi Benny masih di Seoul.  Dia dipanggil pulang oleh Soeharto, sebagai "jalan tengah” mengatasi rivalitas antara Ali Murtopo dan Malari. Dalam waktu relatif singkat, Benny selanjutnya menjadi sandaran politik Soeharto, hingga mencapai puncaknya saat dia dilantik sebagai Panglima TNI (d/h Pangab) tahun 1983.

Sebagai perwira intelijen andal, Benny tentu memiliki jaringan yang luas, termasuk menyiapkan perwira-perwira muda. Kita langsung lompat saja pada situasi nasional mutakhir, ketika sebagian perwira-perwira muda yang dianggap "anak didik” Benny Moerdani, saat ini  masih eksis di sekitar kekuasaan, sebut saja Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970) dan Letjen (Purn) Agum Gumelar (Akmil 1968).

Secara kebetulan Luhut dan Agum saat ini masuk barisan pendukung Prabowo selaku capres. Tentu saja ini adalah sebuah paradoks. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Prabowo adalah lawan abadi Benny, namun kini Prabowo menyatu dengan murid musuhnya. Salah satu tafsir yang bisa kita ajukan adalah, pihak militer (baik yang masih aktif maupun purnawirawan) selalu ingin berkuasa, dan bila ada kesempatan akan kembali mendominasi seperti era Orde Baru dulu.

Tidak tanggung-tanggung, selain didukung para seniornya yang dulu dianggap kurang ramah terhadap dirinya, Prabowo juga didukung penuh Presiden Jokowi, pesaingnya dalam dua kali pilpres (2014 dan 2019). Ketika Jokowi memberi ruang pada Prabowo (sebagai Menhan), itu sama artinya Jokowi memberi ruang pada kelompok militer kembali mendominasi politik. Benar, Prabowo ibarat "Kuda Troya” bagi kelompok militer yang ingin kembali berkuasa.

Secara singkat bisa dikatakan, Jokowi seolah memutar jarum jam sejarah. Apa yang dulu diperjuangkan gerakan Malari, untuk mengurangi dominasi militer, kini justru dimentahkan sendiri oleh Jokowi, 25 tahun pascareformasi. Ironi masih bisa ditambahkan, ketika dua anak lelaki Jokowi yang sedang dipersiapkan masuk arena kekuasaan, yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, ternyata memiliki literasi yang minim terkait "tangan besi” rezim Orde Baru.

Situasi di Indonesia kira-kira mirip dengan Filipina, ketika penguasa lama (Ferdinand Marcos)  yang memiliki sisi gelap, bisa masuk kembali dalam pusaran kekuasaan melalui anaknya, dengan cara memanfaatkan rendahnya literasi generasi baru (generasi milenial dan generasi Z) terhadap sejarah kelam masa lalu bangsanya. Ironisnya ini juga terjadi pada Gibran dan Kaesang.  Kita patut bertanya-tanya, jadi selama ini apa yang didiskusikan Gibran dan Kaesang dengan ayahnya?

Mendengar alasan mereka berdua, sungguh membuat kita cemas. Mereka berdua beralasan, mereka tidak paham kisah gelap rezim Orde Baru, karena saat itu belum lahir atau masih balita. Alasan yang sangat sumir, dan sangat mengkhawatirkan, bila dihubungkan dengan posisi mereka sebagai calon pemimpin masa depan, Kaesang sendiri kabarnya sedang disiapkan sebagai Gubernur Jakarta.

Itu ibarat membuka "aib” sendiri, artinya Gibran dan Kaesang, sebagai calon orang besar, rupanya kurang senang membaca. Karena semua peristiwa itu bisa dipelajari, banyak bacaan yang bisa menjelaskan rezim Orde Baru. Jangan-jangan di rumah pribadi Pak Jokowi di Solo, juga tidak tersedia ruang perpustakaan pribadi. Bandingkan dengan Presiden AS, yang setelah purna tugas, perpustakaan pribadinya bisa diakses publik secara gratis.

Saya sendiri jadi khawatir, jangan-jangan Gibran dan Kaesang, juga kurang paham siapa itu Hariman Siregar dan apa itu Peristiwa Malari. Seandainya ditanyakan, mungkin mereka akan berpikir cukup lama untuk kemudian dijawab sekenanya.

Berani hidup sederhana

Perjalanan God Bless juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur militeristik, karena kita tidak bisa membayangkan musisi rock dengan model rambut crew cut, model rambut khas anggota pasukan. Sejak lahir God Bless sudah menjadi trendsetter, dan tak lepas dari pergaulan kelas atas di Jakarta. Itu sebabnya, ketika aparat berlaku sangat keras terhadap kelompok music rock saat itu, terutama aparat di daerah, selalu ada kelonggaran bagi God Bless, baik saat pentas maupun penampilan, utamanya model rambut.

Sangat berbeda dengan fenomena Citayam Fashion Week misalnya, yang pelakunya adalah remaja di pinggiran Jakarta, begitu mudahnya untuk dihalau, karena sama sekali tidak memiliki backup dari lingkaran elit. Salah satunya lewat sosok Camelia Malik (adik tiri Achmad Albar), God Bless ada akses ke Cendana, meski hanya tipis-tipis. Publik bisa menyaksikan, bagaimana sibuknya Camelia Malik saat Ibu Tien (Soeharto) meninggal pertengahan 1996. Bisa jadi Camelia lebih sibuk dari Brigjen Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974, sahabat Prabowo sejak  taruna), yang saat itu  menjabat Kasgar (Kepala Staf Garnisun) Ibu Kota, di mana salah satu tugasnya memang mengurus prosesi pemakaman warga VVIP.

Apa yang bisa kita pelajari dari personel God Bless dan tokoh Malari, adalah keberanian mereka menjalani hidup sederhana, tanpa mempedulikan kebesaran nama mereka. Itu terlihat ketika God Bless merayakan hari jadi ke 49 (November 2022), cukup di rumah salah satu personel, demikian juga dengan hidangannya. Kemudian bila personel sedang berkumpul untuk latihan atau sekadar ngopi, hidangan yang dinanti adalah nasi rawon, kuliner terbilang sederhana, meski ada unsur daging sapinya.

Demikian juga dengan tokoh Malari. Tidak ada tokoh Malari yang hidupnya berlebihan, termasuk Hariman Siregar. Hariman memang memiliki klinik, tapi sebagian keuntungan (yang juga tidak seberapa) klinik tersebut, adalah untuk mensubsidi roda organisasi gerakan yang lain, yaitu Indemo, lembaga pembela HAM yang dibentuk para mantan tokoh Malari.

Tokoh Malari yang hidupnya bisa dianggap sangat sejahtera adalah Theo Sambuaga. Namun kita harus ingat, Theo adalah tokoh Malari  yang paling cepat berkompromi dengan rezim Orde Baru, ketika bersedia masuk kepengurusan KNPI pada akhir dekade 1970-an. KNPI saat itu terafiliasi pada Golkar.

Mungkin kita bisa sepakat, biarlah gaya hidup mewah dan hedonis, menjadi privilese elite kekuasaan dan konglomerat,  tentu beserta keluarganya. Sementara para personel God Bless dan tokoh Malari tetap hidup sederhana, agar terus terhubung dengan kehidupan rakyat kecil, yang tetap menderita sejak zaman kolonial.

Soal keberanian hidup sederhana inilah yang kini semakin langka dalam masyarakat kita. Di saat tahun politik seperti sekarang, kita melihat banyak nama dan foto bertebaran di jalan, mereka ini adalah contoh orang yang mencari kesejahteraan lewat jalur politik, artinya mereka tidak berani untuk hidup sederhana. Dalam hal keberanian hidup sederhana, harus diakui politisi kalah jauh dari para seniman, khususnya musisi.

Para seniman besar seperti Iwan Fals atau Rendra, mereka hidup sederhana bersama komunitasnya di padepokan masing-masing, berbasis rasa solidaritas dan kebersamaan. Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep "komune” dalam cita-cita masyarakat sosialis. Ini terlihat ketika jam makan tiba, Mas Iwan dan Mas Willy (Rendra) ikut makan bersama, dengan lauk yang sama pula. Kalau ada seniman atau musisi yang sedikit bergaya high class, salah satu yang bisa disebut adalah Setiawan Djody, itu pun karena Setiawan Djody sudah dikenal sebagai pengusaha sukses, sebelum bergabung dengan Iwan Fals dan Rendra dalam Kantata Takwa.

Penulis juga memiliki pengalaman pribadi terkait seniman atau budayawan yang berani hidup sederhana, yakni atas nama Goenawan Mohamad (Mas Gun). Penulis sempat bekerja sebagai staf rendahan (clerk) di Komunitas Utan Kayu (KUK), yang diampu oleh Mas Gun. Bagi orang sekelas Mas Gun, untuk kendaraan sehari-hari tentu bisa menggunakan mobil  SUV, namun Mas Gun lebih memilih naik Kijang model lama, tipe yang biasa untuk mikrolet.

Ada kosakata serapan dari bahasa jawa, yang kiranya tepat untuk menggambarkan keberanian seniman atau budayawan dalam menjalani hidup sederhana, yaitu "sungkan”. Seperti Mas Gun misalnya, sebagian besar pekerja di KUK masih naik kendaraan umum, kemudian novelis Ayu Utami dan komposer Tony Prabowo  masih naik mobil yang biasa-biasa saja. Itu rupanya yang membuat Mas Gun "sungkan”.

Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto sempat mencanangkan (semacam) gerakan "Pola Hidup Sederhana”. Sebagaimana slogan Pak Harto yang lain, semuanya terbang tertiup angin, ibarat debu di padang pasir. Bagaimana akan hidup sederhana, jika anak-anaknya  Soeharto sendiri, terutama Mas Tommy, bergaya hidup hedonis.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.