1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Tradisi Smong yang Selamatkan Warga Simeulue dari Tsunami

Hidayatullah
26 Desember 2023

Smong, warisan budaya yang diceritakan turun-temurun menyelamatkan masyarakat Simeulue dari gempa dan tsunami 2004. Tidak selalu harus andalkan teknologi modern untuk mitigasi bencana.

https://p.dw.com/p/4aUkY
Wilayah padat penduduk di tepi pantai di Pulau Simeulue, Aceh
Wilayah padat penduduk di tepi pantai di Pulau Simeulue, AcehFoto: Hidayatullah/DW

Seorang perempuan mengenakan kerundung coklat dan kemeja kotak-kotak tengah berjalan di lorong Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Sesampainya di kelas, dia berulang kali bertanya kepada para murid: "Apa kalian tahu smong?" Ia merujuk kepada tragedi yang pernah menimpa nenek moyang Simeulue.

"Smong itu adalah bahasa nenek moyang kita yang kini memiliki arti tsunami," kata Ibu Shella, 23, begitu siswa-siswi menyapanya.

Pemilik nama lengkap Putri Norizan Shella Nathasya ini adalah salah satu dari puluhan ribu warga Kabupaten Simeulue yang selamat dari gempa dan tsunami tahun 2004, karena pengetahuan warisan smong yang diwariskan turun-temurun.

Sudah 19 tahun berlalu sejak gempa bumi berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR) dan tsunami yang meluluhlantakkan hampir seluruh wilayah di Provinsi Aceh. Hingga kini, ingatan dan kesedihan masih membekas jelas bagi korban dan keluarga yang ditinggalkan.

Apa yang diingat Shella saat tsunami?

Meski saat itu baru berusia 4 tahun, Shella masih ingat betul apa yang terjadi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004.

"Hari itu sekitar pukul 08.00 WIB, saya masih tidur dan dibangunkan seketika oleh kakek. Dengan tergesa-gesa kakek yang memakai kaos merah langsung menggendong saya dan membawa lari. Beliau terus-terusan berteriak smong," tutur Shella kepada DW Indonesia.

Putri Norizan Shella Nathasya di kelas
Putri Norizan Shella Nathasya atau biasa dipanggil Ibu Shella saat mengajarkan kesiapsiagaan hadapi bencana kepada para muridnyaFoto: Hidayatullah/DW

Rumahnya yang saat itu berkonstruksi setengah permanen berada tepat di bibir pantai. Digendong sang kakek, mereka terus berlari sekitar beberapa kilometer menuju perbukitan.

"Bukit yang ada pondok atap merah itu, adalah tempat kami evakuasi, di situ kami tinggal sekitar 2 minggu dengan tenda dari terpal coklat," jelas Shella, menunjuk lokasi evakuasi yang kini berada di belakang gedung sekolah tempat dia mengajar. 

Kisah smong dan penyelamatan warga Simeulue

"Kalau dulu saya tahu smong karena cerita dari nenek dan kakek, tapi dari SMP dan SMA, smong sudah mulai digarap dalam bentuk tarian, bahkan sekarang sudah ada nyanyiannya," kata Ibu Guru Shella.

Menurut Shella, sangat penting bagi anak-anak dan peserta didik untuk terus diajarkan prosedur penyelamatan diri. Apalagi saat ini tersedia berbagai media untuk mengingatkan masyarakat mengenai smong.

Hal senada juga dirasakan oleh warga Simeulue lainnya yakni Indra Wijaya, 26. Dia yang saat itu sedang berada di bibir pantai melihat langsung kejadian itu. Laut yang biasanya berombak, seketika surut dengan ikan-ikan bergelimpangan begitu saja di dasar laut yang terbuka.

"Rumah kami itu cuma 200 meter dari laut. Karena gempa yang merusak dinding rumah, jadi saya lari ke arah pantai dari puing-puing rumah. Nah, air laut hilang begitu saja. Ikan tergeletak dan tidak ada yang mengambil," kisah Indra yang waktu itu sudah kelas 2 Sekolah Dasar.

Karena kejadian itu, Indra mengatakan bahwa ibunya dari kejauhan berulang kali berteriak smong dan melambaikan tangan, sebagai isyarat untuk lari ke arah perbukitan. 

Bukit di Pulau Simeulue yang dipakai mengungsi dari tsunami oleh warga
Bukit hijau di Pulau Simeulue yang dipakai mengungsi dari tsunami oleh wargaFoto: Hidayatullah/DW

"Ibu terus-terusan teriak smong sambil mengayunkan tangan, jadi dengan terburu-buru saya dengan adik kemudian naik ke atas bukit, rupanya di sana sudah banyak warga yang berlindung," kata Indra. 

Dari pengalaman itu, Indra, kemudian melakukan prosedur evakuasi secara mandiri sambil membawa lari 2 adik dan 4 orang sepupunya, ketika gempa Nias yang terjadi pada 28 Maret 2005.

"Karena pengalaman smong 2004, pada malam gempa Nias itu, akhirnya saya membawa lari 2 adik dan 4 sepupu ke atas bukit, kami lari dalam kegelapan dan akhirnya berkumupul dengan warga lain, gempa itu sangat kuat walaupun tidak ada smong," kata Indra Wijaya kepada DW Indonesia.

Mitigasi bencana tidak selalu harus andalkan teknologi modern

Smong berasal dari bahasa Suku Devayan yang mendiami Pulau Simeulue. Kisah ini dulunya diceritakan secara bernafi-nafi (bertutur), dan berhasil menyelamatkan 71.453 warga Simeulue pada tahun 2004.

Budayawan dari Kabupaten Simeulue, Muhammad Riswan Roesli, mengatakan bahwa memori kolektif yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue berhasil menyalamatkan mereka dari musibah yang terjadi pada saat itu.

"Masyarakat Simeulue terajar untuk tetap waspada. Kita lihat peristiwa tsunami 2004 dan gempa Nias tahun 2005, waktu itu penduduk seperti ada komando tanpa perintah. Asal gempanya kuat, kemudian air laut surut, orang langsung lari keketinggian sambil berteriak smong, smong, smong," kata Muhammad Risawan Bintara.

Ia menjelaskan, kisah smong awalnya terbentuk setelah tsunami menggempur Simeulue pada 1907. Kisah ini kemudian jadi cerita pengantar tidur yang dituturkan oleh ibu kepada anaknya, atau ayah kepada anak ketika sedang berada di ruang keluarga.

"Media cerita itu disebut dengan nafi-nafi, dari sinilah berlanjut dan menyelamatkan masyarakat dari tsunami tahun 2004 dan sampai generasi sekarang kisahnya," jelas Riswan.

Mitigasi yang lestari lewat tradisi bercerita

Pengetahuan dari warisan budaya yang telah berumur 116 tahun menunjukan bagaimana warga Simeulue berhasil beradaptasi serta selamat dari bencana gempa dan tsunami tahun 2004. Jumlah korban jiwa di Simeulue waktu itu sekitar 3 sampai 5 orang, sementara di keseluruhan Provinsi Aceh mencapai sekitar 230.000 jiwa.

Nandong Smong: Tradisi yang Ajarkan Cara Hadapi Tsunami

 Alfi Rahman, peneliti Smong dari Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Aceh, mengatakan tidak selalu harus mengandalkan teknologi modern. Menurutnya, masyarakat tradisional sudah memiliki cara tersendiri dalam beradaptasi dengan perubahan alam, seperti gempa bumi dan tsunami.

"Tsunami tahun 1907 telah mengajarkan masyarakat Simeulue, di mana waktu itu hampir 50% penduduk Simeulue hilang atau meninggal. Bentuk dari kesedihan itu kemudian diceritakan kembali, karena mereka yakin akan berulang," kata Alfi Rahman kepada DW Indonesia. 

Berdasarkan penelitiannya, setelah tsunami 2004, pengetahuan terkait smong semakin berkembang. Tidak hanya melalui penuturan, tapi juga melalui nandong (lagu) dan lainnya, yang dikembangkan oleh beberapa tokoh asal Simeulue.

Menurut Alfi Rahman, apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Simeulue, kemudian mendapatkan pengakuan. Seperti pada tahun 2018, kata smong masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dengan ejaan semong yang berarti tsunami. Kemudian tahun 2021, istilah smong mendapatkan penghargaan Sasakawa Award for Disaster Reduction dari United Nations untuk masyarakat Simeulue.

"Dalam penelitian, saya menemui nenek Rukaiah, yang kemudian memberikan nama cucunya dengan nama Putra Smong, karena lahir pada 26 Desember 2004. Ini menunjukan bagaimana masyarakat menghargai dan melestarikan budayanya," jelas Alfi Rahman. (ae)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!