1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Wiji Thukul, Film dan Bioskop

Indonesien Wahyu Susilo
Wahyu Susilo
18 Januari 2020

Film dokumenter Wiji Thukul beredar lagi di bioskop. Film dan bioskop ternyata juga bagian penting dari seniman akar rumput yang diduga menjadi korban pembunuhan di jelang masa Orde Baru. Film apa yang jadi inspirasinya?

https://p.dw.com/p/3WHRv
Indonesien Widji Thukul
Foto: Wahyu Susilo

Awal tahun 2020, film dokumenter tentang Wiji Thukul akan beredar lagi di bioskop beberapa kota di Indonesia. Judulnya "Nyanyian Akar Rumput”, film yang disutradarai oleh Yuda Kurniawan ini berkisah tentang perjalanan Fajar Merah, putra Wiji Thukul yang mengaku tidak pernah mengenal bapaknya, karena saat bapaknya menjadi buronan Orde Baru, dia masih sangat kecil.

Ini tentu kabar menggembirakan dalam dunia perfilman dan perbioskopan di Indonesia, bahwa film dokumenter mulai mendapat tempat di bioskop Indonesia. Memang ini bukan film dokumenter pertama yang tayang di layar lebar di tanah air. Seingat penulis, lima tahun lalu, film dokumenter garapan Dhandy Laksono yang berjudul Yang Ketu7uh juga sempat tayang di layar bioskop. Namun, film yang berkisah tentang hiruk-pikuk pemilihan presiden di tahun 2014 hanya sempat bertahan di bioskop dalam hitungan jari.

Tiga tahun yang lalu, juga di awal tahun, film ‘Istirahatlah Kata-Kata‘ juga ditayangkan di layar bioskop. Berbeda dengan Nyanyian Akar Rumput, film garapan Yosep Anggie Noen ini adalah film drama yang berbasis pada penggalan kisah Wiji Thukul saat menyepi di Kalimantan menghindari kejaran aparat Orde Baru. Di layar bioskop, film ini sempat bertahan hingga satu bulan dan mampu mengingatkan kembali kisah-kisah kelam Orde Baru pada generasi muda.

Yudha Kurniawan dan Yosep Anggi Noen, adalah pekerja film muda dimana pada saat kiprah politik Wiji Thukulmenggeliat di masa Orde Baru, mereka berdua masih kanak-kanak. Mereka masih main kelereng atau main layang-layang. Tak ada interaksi langsung mereka dengan Thukul, bahkan saat Thukul dihilangkan, mereka juga masih duduk di bangku sekolah menengah.

Artinya, dua film ini setidaknya mencerminkan bagaimana generasi muda mengimajinasikan peran Wiji Thukul dan sekaligus mencerminkan apa tuntutan mereka pada negara. Tentu kita patut memberi apresiasi mereka yang telah melakukan upaya melawan lupa dengan memproduksi film tentang Wiji Thukul.

Penulis: Wahyu Susilo, adik dari Wiji Thukul
Penulis: Wahyu Susilo Foto: privat

Bioskop dan film adalah dunia yang tak asing bagi Wiji Thukul

Film yang kembali tayang di bioskop ini membangkitkan kenangan penulis bersama sang kakak, Wiji Thukul. Dulu semasa bisnis bioskop belum dikuasai oleh konglomerat film seperti Cineplex dan sejenisnya, di Solo ada puluhan bioskop yang beroperasi dan memiliki ciri khas memutar genre film yang berbeda-beda.

Bioskop yang terdekat dari penulis dan Wiji adalah Remaja Theatre (sekarang menjadi Kantor Kelurahan Sudiroprajan Solo) dan Kartika Theatre (sekarang menjadi Pusat Grosir Beteng Solo). Kedua bioskop ini lebih sering memutar film silat Tiongkok dengan aktor-aktor andalannya, Chin Kwan Thai, Chin Kwan Chin, Bruce Lee atau pun Ti Lung.

Tentu sistem pembelian tiket masuk (karcis) tidak seperti sekarang yang bisa melalui online dengan berbagai aplikasi, namun dengan cara manual antre di loket. Jika filmnya menarik, antrean bisa panjang. Dan inilah yang kemudian menjadi peluang bisnis bagi Wiji Thukul untuk menjadi calo karcis bioskop. Caranya, ia datang lebih awal menghubungi bagian tiket, memborong tiket antar 15 sampai 20 tiket, dan dijual dengan harga lebih tinggi. Modalnya dari uang SPP yang seharusnya dibayarkan ke sekolah, tetapi dipakai dulu untuk beli karcis. Keuntungan lebih besar jika film-film Indonesia diputar saat libur Lebaran. Biasanya yang ia jual adalah karcis film Warkop atau kisah cinta monyet Rano Karno dan Yessy Gusman. Film-film ini biasanya menyedot banyak penonton.

Apa saja film favorit Wiji?

Saat Wiji beranjak dewasa, bioskop-bioskop di Solo mulai berguguran dan menjadi calo karcis bioskop sudah tidak lagi menguntungkan. Sementara itu produksi fim Indonesia, menurut Wiji Thukul, semakin tidak bermutu. "Hanya menjual tubuh perempuan dan setan kuburan”, tulisnya dalam esai di Buletin AJANG yang diterbitkan Sanggar Suka Banjir.

Pergaulannya yang meluas dengan di dunia sastra dan seni serta aktivisme membuat Wiji Thukul juga mengikuti perkembangan film. Dia sangat menyukai film besutan Slamet Rahardjo "November 1828”, bahkan sampai membeli buku dengan judul yang sama.

Ada dua film yang mempengaruhi aktivisme Thukul di kemudian hari, yaitu "Cry Freedom” dan "Dead Poets Society”. Cry Freedom berkisah tentang perjuangan Steve Biko, aktivis anti apartheid Afrika Selatan dalam perjuangan pembebasan nasional. Setelah menonton film ini, Thukul kemudian mengoleksi beberapa buku tentang Nelson Mandela.

Film Dead Poets Society adalah film yang berkali-kali ditonton oleh Wiji Thukul karena berkisah tentang bagaimana puisi bisa merombak metode pengajaran dan bisa membebaskan ekspresi manusia.

Film yang dibintangi oleh Robin Williams ini pada masanya menjadi film wajib dinonton oleh siswa SMA di belahan Amerika Utara. Akhir kisah film ini tragis dengan kisah kematian. Seperti Thukul dan puisi-puisinya, tragis. Buron dan hilang tak tentu rimbanya.

@wahyususilo adalah pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini.