1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan BerpendapatAsia

Kebebasan Berpendapat Bukanlah Prioritas di Asia Tenggara?

David Hutt
4 Oktober 2023

Lebih banyak orang di Asia Tenggara memprioritaskan perlindungan “harmoni” sosial dibandingkan hak atas kebebasan berpendapat. Demikian hasil sebuah penelitian baru-baru ini.

https://p.dw.com/p/4X4kw
Aktivis kebebasan pers Filipina di tahun 2022 memprotes pembunuhan seorang jurnalis
Aktivis kebebasan pers Filipina di tahun 2022 memprotes pembunuhan seorang jurnalisFoto: Basilio Sepe/ZUMA Wire/IMAGO

Negara-negara Asia Tenggara termasuk dalam kelompok yang terburuk di dunia dalam hal standar kebebasan pers dan hak media. Penutupan paksa surat kabar independen dan pemenjaraan aktivis karena komentar publik mereka telah jadi sumber ketegangan antara pemerintah otokratis dan negara demokrasi Barat dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah di Asia Tenggara, mulai dari Vietnam dan Laos, hingga negara demokrasi tentatif seperti Indonesia dan Filipina, cenderung setuju bahwa mereka harus sangat membatasi kebebasan berpendapat demi melindungi "harmoni" nasional.

Hal ini berdasarkan laporan "Buddhisme, Islam, dan Pluralisme Agama di Asia Selatan dan Tenggara" yang diterbitkan oleh Pew Research Center. Studi ini berfokus pada peran agama dalam berbagai masyarakat di Asia Selatan dan Tenggara.

Di bagian agama dan politik, laporan tersebut mengungkapkan bahwa "kebebasan berpendapat dan demokrasi tidak selalu dianut secara luas di kawasan ini."

Peringkat kebebasan pers di Asia Tenggara rendah

Temuan ini juga tercermin dalam peringkat kebebasan pers global yang diukur setiap tahunnya oleh organisasi seperti Reporters Without Borders.

Dalam laporan terbaru Indeks Kebebasan Pers Dunia, Vietnam menduduki peringkat ketiga terburuk di dunia, setelah Cina dan Korea Utara. Myanmar yang dipimpin Junta juga berada di 10 negara peringkat terbawah.

Wilayah lainnya berada di peringkat paruh bawah, kecuali Malaysia, yang berada di peringkat 73. 

Memburuknya standar kebebasan berpendapat secara internasional "adalah akibat dari meningkatnya agresivitas pihak berwenang di banyak negara dan meningkatnya rasa permusuhan terhadap jurnalis di media sosial dan dunia nyata," Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders Christophe Deloire mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Indeks lainnya, Freedom On The Net dari lembaga Freedom House, yang memantau kondisi kebebasan berpendapat secara online menunjukkan, baru-baru ini Myanmar dan Cina berada di peringkat terakhir dalam hal "kebebasan internet".

Dua negara Asia Tenggara lainnya, yakni Vietnam dan Thailand, termasuk dalam 20 negara dengan kinerja terburuk.

Pendapat masyarakat awam tentang kebebasan pers

Studi oleh Pew Research Center memang berbeda dengan pemeringkatan kebebasan pers tahunan, karena studi ini berfokus pada pemikiran masyarakat awam terhadap masalah kebebasan berpendapat.

Menurut laporan yang diterbitkan pada awal September, mayoritas responden di tiga dari empat negara Asia Tenggara yang disurvei setuju dengan pemerintah mereka bahwa "harmoni" nasional harus lebih diutamakan dibandingkan kebebasan berpendapat.

Meski sebagian besar responden di empat negara Asia Tenggara berpendapat, masyarakat seharusnya diperbolehkan mengritik pemerintah secara terbuka, sebagian besar responden di Malaysia (36%) dan Singapura (41%) justru berpendapat warga negara tidak seharusnya melakukan hal tersebut.

Responden kemudian diminta untuk memilih satu dari dua pernyataan: "keharmonisan dengan orang lain lebih penting daripada hak untuk mengutarakan pendapat" atau "orang harus diperbolehkan mengutarakan pendapatnya di depan umum meskipun hal itu membuat orang lain kesal."

Hanya mayoritas di Thailand (59%) berpendapat, kebebasan berpendapat harus didahulukan sebelum keharmonisan sosial. Sekitar 64% masyarakat Singapura, 67% masyarakat Indonesia, dan 69% masyarakat Kamboja berpendapat bahwa keharmonisan sosial dikedepankan sebelum kebebasan berpendapat.

"Kombinasi tradisi keharmonisan sosial dan pemerintahan otoriter selama bertahun-tahun di banyak negara Asia Tenggara, serta tekanan terhadap hak kebebasan berpendapat, semuanya berdampak pada pandangan; kebebasan berpendapat sebagai prioritas," ujar peneliti senior Asia Tenggara di Council on Foreign Relations, Joshua Kurlantzick, kepada DW.

Namun ia menambahkan, khususnya kalangan generasi muda mengutamakan untuk mendahulukan kebebasan berpendapat.

Peringkat masing-masing negara Asia Tenggara

Laporan tersebut juga menemukan adanya perbedaan berdasarkan agama. Misalnya, hampir separuh umat Islam di Thailand (52%) mengatakan keharmonisan dengan orang lain lebih penting daripada kebebasan berpendapat, hanya 38% umat Buddha di Thailand yang bersikap sama.

Pihak berwenang Thailand mengatakan undang-undang lese-majeste yang ketat, yang menjadikan penghinaan terhadap raja dan keluarga dekatnya dapat dihukum 3 hingga 15 tahun penjara, diperlukan karena lembaga tersebut menentukan definisi sebagai "orang Thailand". 

Sementara pemerintah Kamboja membela diri dengan mengatakan, politisi oposisi dan surat kabar independen adalah ancaman terhadap perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah, menyusul perang saudara selama tiga dekade yang berakhir pada akhir 1990-an.

Pemerintahan komunis di Vietnam dan Laos menegaskan, komunitas nasional harus diutamakan lebih dari hak individu untuk menyatakan pendapat.

Pemerintah Singapura, negara multietnis dan multiagama yang pernah mengalami "kerusuhan rasial" pada era 1960-an, telah memperluas cakupan undang-undang "ujaran kebencian" dalam beberapa tahun terakhir.

"Di Singapura, kami mengambil tindakan, baik terhadap ujaran kebencian maupun ujaran yang menyinggung. Dan kami tidak mengizinkan ras, atau agama apa pun diserang atau dihina oleh siapa pun," kata Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam, dalam pidatonya tahun 2021.

"Bagi kami, kebebasan berpendapat berhenti pada batas menyinggung orang lain," tambahnya.

Namun, para kritikus mempertanyakan, apakah undang-undang "ujaran kebencian" yang keras di Asia Tenggara dan undang-undang lainnya benar-benar membela "harmoni" sosial.

Sebuah laporan tahun 2021 dari Asia Centre, sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Thailand, mengatakan pemberlakuan "harmoni" dan undang-undang lainnya "melanjutkan dominasi mayoritas etno-agama, membatasi (kebebasan beragama atau berkeyakinan) dan memberangus adanya keluhan dari komunitas minoritas."

"Pemerintah yang dominan secara etno-religius di kawasan ini masih terus mengeksploitasi perpecahan masyarakat demi keuntungan politik," tambah laporan itu.

(ae/as)