1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB: Kejahatan Perang di Myanmar Meningkat Dramatis

9 Agustus 2023

Junta militer Myanmar diklaim telah melakukan kejahatan perang yang semakin sering dan semakin berani, termasuk bom dari udara yang menargetkan warga sipil, ungkap penyelidikan PBB.

https://p.dw.com/p/4Uw2d
Junta militer Myanmar
Penyelidikan PBB menemukan bukti bahwa kejahatan perang di Myanmar semakin meningkatFoto: AFP/Getty Images

Para penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pada hari Selasa (08/08) bahwa pihaknya telah mengumpulkan bukti kuat terkait meningkatnya kejahatan perang di Myanmar dan tengah menyusun berkas perkara untuk mengadili para pelaku.

Mekanisme Investigasi Independen PBB untuk Myanmar, IIMM, menemukan bukti kuat selama 12 bulan yang berakhir pada bulan Juni lalu, bahwa junta militer dan milisi telah menargetkan warga sipil dengan bom dari udara tanpa pandang bulu dan secara tidak proporsional.

Junta militer Myanmar juga telah mengeksekusi massal orang-orang yang ditahan selama operasi dan melakukan pembakaran rumah-rumah warga sipil dalam skala besar, tambah badan penyelidik PBB tersebut.

Junta militer Myanmar
Kekejaman militer mematikan mulai meningkat sejak kudeta yang menggulingkan pemerintahan pemimpin Aung San Suu Kyi terdahuluFoto: AFP/Getty Images

‘Semakin sering dan kurang ajar’

IIMM mengklaim bahwa junta militer Myanmar dan milisi yang berafiliasi dengan kelompok itu telah "melakukan kejahatan perang yang semakin sering dan kurang ajar".

Tim investigasi juga memperingatkan dalam laporan tahunannya bahwa "jumlah insiden yang memiliki ciri-ciri kejahatan internasional yang serius" telah melonjak sejak kudeta di Myanmar.

"Setiap korban jiwa di Myanmar merupakan hal yang tragis, tetapi kehancuran yang terjadi pada seluruh komunitas melalui pemboman udara dan pembakaran desa itu sangat mengejutkan," ujar kepala penyelidik Nicholas Koumjian dalam pernyataannya.

"Bukti-bukti yang kami miliki menunjukkan adanya peningkatan yang dramatis dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara ini, dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil, sehingga kami tengah menyusun berkas-berkas kasus yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku," tegasnya.

Negara di Asia Tenggara itu telah dilanda kekejaman mematikan sejak kudeta yang menggulingkan pemerintahan pemimpin Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 lalu, yang juga memicu pertempuran dan aksi tindakan keras di berbagai penjuru negara.

Para penentang pemerintahan militer Myanmar memilih untuk mengangkat senjata dan sebagian besar wilayah negara tersebut kini terlibat dalam konflik, di mana bagi beberapa pakar PBB menyebutnya sebagai “perang saudara”.

Bukti kejahatan internasional paling serius

IIMM dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2018 untuk mengumpulkan bukti kejahatan internasional paling serius dan menyiapkan berkas penuntutan pidana bagi para pelaku kejahatan.

Meskipun tim tersebut tidak pernah diizinkan untuk mengunjungi Myanmar, mereka telah terlibat dengan lebih dari 700 sumber dan telah mengumpulkan "lebih dari 23 juta data informasi", termasuk pernyataan saksi, dokumen, foto, video, bukti forensik, dan rekaman citra satelit.

IIMM, yang juga bekerja sama dengan Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional, mengatakan bahwa timnya telah "berencana untuk mempercepat pengumpulan bukti-bukti kejahatan internasional yang paling serius tersebut".

Menurut IIMM, para komandan militer atau pejabat tinggi, memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk mencegah dan menghukum kejahatan perang yang dilakukan oleh mereka yang berada di bawah komando mereka.

"Mengabaikan kejahatan semacam itu secara berulang-ulang dapat mengindikasikan bahwa otoritas yang lebih tinggi memang menghendaki terjadinya kejahatan tersebut," ujar laporan tersebut.

"Tingkat kejahatan tertinggi"

Laporan IIMM juga menyoroti bukti penggunaan tentara bayaran oleh "berbagai aktor bersenjata", dan mengatakan bahwa tim penyelidik juga melihat "semakin banyak bukti mengenai penyiksaan, kekerasan seksual, dan bentuk-bentuk penganiayaan berat lainnya di berbagai fasilitas penahanan".

Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa kejahatan semacam itu "dilakukan dengan tingkat kekejaman dan kejahatan tertinggi terhadap para korban, termasuk pemerkosaan, bentuk-bentuk penghinaan lainnya, mutilasi, pemerkosaan beramai-ramai atau berantai, dan perbudakan seksual," demikian ungkap laporan tersebut.

IIMM mengatakan bahwa pihaknya juga terus menyelidiki kekerasan seksual yang dilakukan selama penumpasan berdarah terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar pada tahun 2017, yang mengakibatkan pengungsian hampir satu juta warga Rohingya.

"Kejahatan seksual dan kejahatan berbasis gender merupakan salah satu kejahatan paling keji yang sedang kami selidiki," kata Koumjian, dengan mengatakan bahwa kejahatan ini "merajalela selama operasi pembersihan Rohingya".

Serangan udara di Myanmar
Serangan udara di desa Pazigyi, wilayah Sagaing, MyanmarFoto: Kyunhla Activists Group/AP/picture alliance

Kejahatan perang Myanmar

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia, mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 3.900 warga sipil dan menangkap 24.236 lainnya, sejak pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Bahkan bulan April lalu, junta militer menjatuhkan sebuah bom yang menurut kelompok Human Rights Watch merupakan sebuah amunisi "ledakan yang disempurnakan" dalam sebuah serangan di desa Pazigyi, wilayah Sagaing, dan menewaskan lebih dari 160 orang, termasuk banyaknya korban anak-anak.

Serangan tersebut menargetkan sebuah upacara pembukaan kantor lokal Pemerintah Persatuan Nasional, organisasi oposisi nasional utama yang menganggap dirinya sebagai badan administratif yang sah di Myanmar.

Sedangkan pemerintah junta militer yang berkuasa, sering menuduh anggota Pasukan Pertahanan Rakyat yang pro-demokrasi itulah yang melakukan tindakan terorisme terhadap target-target yang berhubungan dengan pemerintah militer.

IIMM mengatakan dalam laporannya bahwa junta militer seharusnya sudah tahu, bahwa sejumlah besar warga sipil akan hadir pada saat beberapa serangannya itu dilepaskan.

Pemerintah militer Myanmar juga menolak tuduhan bahwa pasukan keamanan mereka telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal serta membakar ribuan rumah warga. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat sampai mencap tindakan kekejaman junta militer tersebut sebagai “aksi genosida”.

kp/ha (AFP, AP)