1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikCina

Taiwan Tolak Berkompromi Soal Demokrasi

10 Oktober 2022

Presiden Tsai Ing-wen mengatakan Taiwan bertekad melindungi demokrasi dari autoritarianisme Cina. Menurutnya, ambisi Beijing mencaplok Taiwan, termasuk dengan opsi militer, serupa dengan Rusia menginvasi Ukraina.

https://p.dw.com/p/4Hyl4
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wenFoto: picture alliance/AP/Chiang Ying-ying

 

Dalam pidatonya, Presiden Tsai Ing-wen, mewanti-wanti terhadap apa yang dipertaruhkan di Selat Taiwan. "Kita sama sekali tidak bisa lagi mengabaikan ancaman yang muncul dari ekspansi militer ini terhadap tatanan dunia yang bebas dan demokratis,” kata dia.

"Kehancuran demokrasi dan kebebasan di Taiwan akan menjadi kekalahan yang telak bagi kekuatan demokrasi di dunia,” lanjut Tsai.

Negeri berpenduduk 23 juta orang itu sedang giat memodernisasi militernya untuk menghadapi ancaman Cina. Kedua negara berseteru sejak berakhirnya Perang Saudara Cina pada 1949.

Sejak dikuasai Xi Jinping, pemerintah di Beijing giat menggandakan tekanan diplomatis, ekonomi dan militer terhadap Taipei. Pemimpin Cina yang dianggap paling berpengaruh sejak Mao Tse Tung itu mendeklarasikan reunifikasi Taiwan sebagai tonggak proyek "peremajaan nasional.”

Tsai menegaskan rakyatnya menolak ambisi Beijing. Pasca runtuhnya kediktaturan militer pada 1987 silam, Taiwan mencanangkan demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional.

"Selama 73 tahun terakhir, rakyat Taiwan telah hidup dan tumbuh bersama di atas tanah ini, serta membangun identitas dan rasa kepemilikan yang kuat,” kata Tsai lagi.

"Konsensus umum di kalangan rakyat Taiwan dan partai-partai politik adalah bahwa kami harus melindungi kedaulatan nasioonal dan gaya hidup kami yang bebas dan demokratis. Pada titik ini, kami tidak punya ruang berkompromi.”

Isu kemerdekaan Taiwan sempat ramai dibahas menyusul komentar kontroversial manusia terkaya di dunia, Elon Musk. Dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, dia mengajak Taipei mencegah perang dengan mengorbankan kedaulatan.

"Rekomendasi saya adalah mengembangkan zona administrasi khusus di Taiwan yang memuaskan kedua pihak. Hal ini mungkin tidak akan membuat semua orang senang. Dan saya kira ada peluang bahwa mereka bisa membuat sistemnya lebih toleran ketimbang Hong Kong,” katanya, Jumat (7/10).

Atas pernyataannya itu, Musk mendapat ucapan terima kasih dari Duta Besar Cina di AS, Hsiao Bi-khim.

Moderinsasi militer

Kekuatan militer Taiwan tergolong kecil dibandingkan Cina. Beijing belakangan giat menggandakan kapasitas tempurnya, terutama di laut dan udara. Agustus silam, militer Cina menggelar latihan besar-besaran di sekitar Taiwan sebagai protes atas kunjungan seorang pejabat tinggi AS.

Negara-negara sekutu mengimbau agar Taipei mengadopsi "strategi landak”, yang menjamin kerugian besar bagi Cina dalam skenario invasi. Taktik ini juga digunakan oleh militer Ukraina untuk menghalau serangan Rusia terhadap ibu kota Kyiv. 

Tsai mengabarkan pihaknya sudah mengubah strategi pertahanan. "Kami menambah produksi massal peluru kendali dan kapal perang berkinerja tinggi,” kata dia.

"Sebagai tambahan, kami juga sedang berusaha membeli berbagai senjata kecil dengan mobilitas tinggi yang membantu kita memperkuat kapabilitas perang asimetris yang komperhensif.”

Tsai juga menegaskan pentingnya untuk memobilisasi dan melatih lebih banyak warga sipil. Strategi pertahanan semesta ini juga diadopsi Ukraina menyusul invasi Rusia. "Setiap warga adalah pelindung negara.”

Bulan Oktober menjadi periode paling sensitif, ketika kedua negara merayakan hari kemerdekaan. Beijing mengirimkan lebih dari 150 pesawat tempur ke Taiwan di sepuluh hari pertama bulan Oktober tahun lalu.

Sejauh ini, AFP baru melaporkan sebanyak 25 pelanggaran batas udara Taiwan oleh militer Cina. Namun di sepanjang 2022, jumlah penerbangan militer Cina ke Taiwan sudah mencapai 1.300, dibandingkan 969 pada 2021.

rzn/vlz (ap,afp)