1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikPalestina

Perang Gaza Perparah Konflik Air Palestina dan Israel

Kersten Knipp
22 Maret 2024

Ketergantungan warga Palestina di Jalur Gaza kepada suplai air dari Israel menjadi fatal di tengah berkecamuknya perang melawan Hamas. Kelangkaan air memperarah wabah kelaparan yang kian merajalela.

https://p.dw.com/p/4e13l
Pembagian air minum di Gaza City
Pembagian air minum di Gaza CityFoto: Mohammed Talatene/dpa/picture alliance

Peringatan bahaya kelaparan di Jalur Gaza sudah dilayangkan sejak jauh hari: Jika pertempuran berlanjut, bencana kelaparan kemungkinan besar akan muncul di kawasan utara mulai bulan Mei ini.

Setidaknya separuh populasi Palestina di utara Gaza berada di ambang kelaparan, lapor berbagai pakar dan organisasi internasional yang tergabung dalam inisiatif Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terintegrasi, IPC. 

IPC terdiri dari 19 organisasi internasional, termasuk Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa, Oxfam, Program Pangan dan Pertanian Inggris, Bank Dunia, Program Pangan PBB dan organisasi bantuan anak, Save the Children.

Lembaga itu mendefinisikan secara kongkrit kapan bencana kelaparan dimulai. Status terburuk dalam „skala kerawanan pangan” IPC adalah situasi, di mana „setidaknya 20 persen populasi terdampak, dengan satu dari tiga anak mengalami malnutrisi akut dan dua dari 10.000 penduduk meninggal dunia setiap hari akibat kelaparan atau interaksi antara malnutrisi dan penyakit.”

Laporan IPC menyimpulkan, situasi di Gaza saat ini sedang menjurus ke arah skenario tersebut. Keterbatasan akses tidak cuma berlaku untuk bahan pangan, tapi juga akses kesehatan, air dan sanitasi yang bersih. 

„Akses menuju air bersih adalah urusan hidup dan mati, dan anak-anak di Gaza saat ini cuma punya setetes untuk diminum,” kata Direktur UNICEF Catherine Russel di X, dulu Twitter, Desember lalu. „Tanpa air bersih, akan ada lebih banyak anak-anak yang mati,” imbuhnya.

Perang semakin melemahkan akses air di Gaza yang sebelumnya pun tidak berkecukupan. Segaris lahan di pesisir tepi Laut Tengah itu memang miskin air lantaran letak geografisnya. Sebagian besar konsumsi air dipasok melalui sumur bor yang cendrung memiliki tingkat salinitas tinggi karena intrusi air laut.

Cadangan air tanah di Gaza juga relatif tercemar oleh limbah cair, terutama di dekat permukaan. Terlebih, ragam pertempuran dengan persenjataan berat ikut memperparah kontaminasi air. Pada 2011 silam, PBB menemukan lebih dari 90 persen cadangan air tanah di Gaza tidak layak minum. 

Harapan Anak-anak di Kamp Rafah untuk Tahun 2024

Blokade air dan bahan bakar

Kondisi topografi memaksa warga Palestina di Gaza bergantung hidup pada suplai air dari Israel. Pasokan tersebut dihentikan setelah serangan teror 7 Oktober oleh Hamas yang menewaskan 1,200 orang, termasuk juga suplai bahan pangan dan bahan bakar. Sejak itu, setidaknya 30.000 warga Gaza tewas dalam perang Israel melawan Hamas.

Dua dari tiga pipa yang memasok air bersih untuk Gaza dibuka kembali oleh Israel pada akhir Oktober silam. Harian Times of Israel melaporkan, jumlah air yang disuplai ke Gaza setiap hari mencapai 28,5 juta liter. Sebelum serangan  7 Oktober, jumlahnya masih sekitar 49 juta liter per hari.

Terhentinya pasokan bahan bakar juga memperparah situasi, karena memaksa satu-satunya pembangkit listrik bertenaga diesel di Gaza memangkas produksi. Akibatnya, suplai energi untuk menggerakkan instalasi pemurnian dan desalinasi juga ikut terhenti. 

Sudah bertahun masalah air di Jalur Gaza diabaikan, kata Tobias von Lossow, peneliti dan pakar keamanan air di Clingendael Institute, Belanda. Salah satu solusinya adalah instalasi pemurnian berkapasitas lebih besar.

„Tapi pembangunannya belum juga dimulai, meskipun, terlepas dari pasokan air dari Israel, Gaza tidak punya opsi lain untuk menyuplai populasinya dengan air bersih,” kata Lossow kepada DW.

Politisasi air minum

Akses air bersih di Tepi Barat yang diduduki Israel sedikit lebih baik, walau di sini pun warga Palestina mengalami kelangkaan air. 

Menurut informasi GlobalWaters.org milik organisasi bantuan Amerika Serikat, USAID, pipa air di Tepi Barat sering mengalami kebocoran karena sudah tua. Hanya 31 persen warga Palestina di Tepi Barat yang terhubung dengan jaringan pembuangan limbah, dan cuma lima atau 10 persen limbah cair diolah.

Perjanjian interim antara Israel dan Palestina pada 1995 atau disebut Oslo II telah  meregulasi suplai air bagi kedua bangsa. Perjanjian yang sedianya berlaku selama lima tahun itu memberikan Israel kewenangan atas 80 persen cadangan air di Tepi Barat.

Mengapa Jerman Melarang Slogan “Dari Sungai ke Laut”?

‘Kelangkaan buatan'

Palestina menuduh Israel membatasi suplai air di Tepi  Barat dan mengalihkannya untuk memasok pemukiman ilegal Yahudi. 

Israel yang memiliki teknologi penyulingan mutakhir sebaliknya bersikeras telah mengirimkan suplai air yang cukup.

Laporan organisasi HAM Israel, B'Tselem, menyebut betapa warga Israel di pemukiman ilegal di Tepi Barat  menggunakan tiga kali lipat volume air ketimbang penduduk Palestina. 

Kelangkaan air di Tepi Barat "tidak bisa diklaim sebagai sebuah takdir, bencana alam atau krisis air regional, tulis organisasi tersebut. "Kelangkaan ini adalah hasil dari kebijakan diskriminatif Israel untuk secara sengaja menciptakan kelangkaan buatan yang berkepanjangan di antara populasi,” Palestina.

Keterbatasan sumber air menjadikan pasokan air bersih isu politik, menurut peneliti Belanda Lossow. Dia mengatakan, suplai air di Tepi Barat semakin berkurang dalam beberapa tahun terakhir.

"Turunnya muka air di Laut Mati sebanyak rata-rata satu meter per tahun menunjukkan tingginya tekanan terhadap sumber air lokal,” kata dia. 

"Situasi politiknya juga menyulitkan pasokan air yang lebih baik,” imbuhnya. 

Perebutan air antara Palestina dan Israel merupakan isu lama, lanjut Lossow. "Tapi, ini hanya satu dari sejumlah komponen besar yang ikut membentuk konflik ini, bersama dengan perebutan wilayah teritori, identitas, agama dan militer.”

rzn/hp