1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanCina

WHO: Statistik COVID-19 Cina Sembunyikan Dampak Sebenarnya

5 Januari 2023

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkritik definisi Cina yang "sangat sempit" tentang kematian akibat COVID-19, seraya memperingatkan bahwa data statistik resmi tidak menunjukkan dampak sebenarnya dari wabah tersebut.

https://p.dw.com/p/4Lkbj
Membludaknya jumlah pasien di salah satu rumah sakit di Cina, Selasa (03/01)
Beberapa pasien yang sakit mempunyai gejala COVID-19Foto: Ray Young/Utuku/ROPI/picture alliance

Ada kekhawatiran yang berkembang atas peningkatan tajam infeksi COVID-19 di Cina sejak pencabutan kebijakan nol COVID yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun. "Kami masih belum memiliki data lengkap," kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan kepada wartawan.

"Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan Cina kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, ICU, dan khususnya dalam hal kematian," tambahnya.

Cina hanya mengklaim 22 kasus kematian akibat COVID-19 sejak Desember 2022 dan secara dramatis mempersempit kriteria untuk mengklasifikasikan kematian semacam itu, yang artinya data statistik terkait gelombang wabah corona yang belum pernah terjadi sebelumnya sekarang secara luas dilihat tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Ryan menunjukkan bahwa definisi yang digunakan Beijing hanya "gangguan pernapasan" yang terkait dengan infeksi COVID-19, yang masuk dalam kriteria kematian akibat COVID-19.

"Itu definisi yang sangat sempit," katanya.

Mandat uji COVID-19 yang datang dari Cina

Negara-negara Uni Eropa menyuarakan keprihatinan terhadap WHO atas data Cina tentang infeksi COVID-19 yang tidak transparan. Pertemuan para pakar Uni Eropa mengatakan pada hari Rabu (04/01) bahwa negara-negara UE "sangat didorong" untuk menuntut tes COVID-19 dari penumpang yang datang dari Cina.

Pertemuan itu diadakan untuk mengoordinasikan tanggapan bersama UE terhadap arus masuk pengunjung yang tiba-tiba, saat Beijing mencabut kebijakan nol COVID yang sebagian besar telah menutup negara itu dari perjalanan internasional.

Para ahli juga merekomendasikan agar penumpang dari dan menuju Cina mengenakan masker, menjalani tes acak pada saat kedatangan, dan menguji air limbah dari penerbangan Cina. Rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh kepresidenan Swedia di Uni Eropa.

Sebelumnya, Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kepada wartawan bahwa pihaknya telah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dalam beberapa pekan terakhir dengan mitranya di Cina.

"Kami terus meminta Cina untuk data rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan, serta pengurutan virus real time yang lebih komprehensif," kata Tedros.

Dia menegaskan kembali bahwa WHO memahami alasan beberapa negara memberlakukan pembatasan baru COVID-19 pada pengunjung dari Cina.

"Dengan merebaknya (virus) di Cina yang begitu tinggi dan tidak tersedianya data yang komprehensif ... dapat dipahami bahwa beberapa negara mengambil langkah yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri," katanya.

Amerika Serikat, yang akan mewajibkan tes COVID-19 bagi sebagian besar pelancong dari Cina mulai Kamis (05/01), mengapresiasi peran WHO dan mengatakan tindakan pencegahan yang diambil Washington disebabkan oleh kurangnya transparansi dari Beijing.

WHO "dalam posisi terbaik untuk membuat penilaian" karena kontaknya dengan pejabat Cina, kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

Subvarian paling menular

Banyak ahli memperhatikan subvarian di Amerika Serikat dan Omicron XBB.1.5, yang sejauh ini telah terdeteksi di 29 negara. Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 WHO, mengatakan itu adalah "subvarian yang paling menular yang telah terdeteksi".

Namun, belum ada indikasi bahwa XBB.1.5 - yang telah menyebar dengan cepat di Amerika Serikat bagian timur laut - menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada jenis COVID-19 lainnya.

Lonjakan kasus XBB.1.5, kata Van Kerkhove, menggarisbawahi betapa pentingnya "melanjutkan pengawasan COVID-19 di seluruh dunia".

"Bulan lalu saja ada lebih dari 13 juta kasus COVID-19 yang dilaporkan ke WHO, dan kami tahu itu terlalu rendah karena pengawasan telah menurun," tambahnya.

Ada juga 15 persen lebih banyak kematian akibat COVID-19 secara global pada bulan lalu dibandingkan bulan sebelumnya, katanya.

"Setiap minggu, sekitar 10.000 orang meninggal karena COVID-19, yang kami ketahui," kata Tedros. "Jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi."

ha/gtp (AFP)